Part 3
"Bukan itu yang aku cemaskan, Ra," sanggahku.
"Kau mencemaskan kepergianku?" tanyanya. Aku mengangguk pertanda mengiyakan pertanyaan Rania.
"Percayalah. Aku tak akan membagi hati," tandasnya. Ia kembali menatapku dalam-dalam.
"Aku mencemaskan sikap anak muda yang tak lagi kritis," ucapku.
"Lupakan saja. Lain kali kita bahas masalah itu, ini sudah telat, aku belum mengemaskan barang," tuturnya. Lalu kami menempuh jalan pulang.
Ketika itu, aku dan Rania sedang menghabiskan akhir pekan pengawal Desember tahun yang lalu-lalu. Rania memilih pulang ke kampungnya di kota yang jauh, sementara aku memilih pergi ke lain kota untuk sekadar mencari pengalaman serta membubuhkan sebuah naskah untuk dapat dibukukan.
Naskah yang sedang kububuhi merupakan suatu kisah perjalananku dengan Rania, yang nantinya akan kuhadiahkan kepadanya, sebagai bukti cinta yang selama ini kucurahkan. Di samping, rania yang baik hati belumlah tahu apa yang sedang kugeluti selama ini, ia mengira aku sedang menyelesaikan tugas jurnalistik.
Suasana Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Rayek begitu padat. Lalu lalang manusia dari berbagai penjuru negeri tak dapat dihitung jari. Desember tahun itu, merupakan bulan kepulangan dan kepergian. Akhir pekan serta tahun baru adalah alasannya.
Aku mengantarkan kekasihku, Rania, berangkat pulang ke tanah leluhurnya. Ia pulang seorang diri tanpa ditemani siapapun, termasuk ayah ibunya, atau pula saudara laki-lakinya yang tinggal di kota paling ujung Nusantara ini.
Dalam urusan bepergian, Rania terbilang berani. Ia salah satu perempuan pemberani yang pernah aku—kenal. Tak hanya urusan pulang–pergi seorang diri, ia juga berani pada hal-hal yang lain, termasuk berani menentang siapapun yang mengusiknya. Hal itu yang membuatkan kekhawatiranku kepadanya perlahan hilang.
Sementara aku, tak seberani Rania; aku tak berani bila sudah berurusan dengan administrasi negara, malas dengan syarat dan prasyarat tentu, juga mudah bosan dalam urusan antri–mengantri, bahkan tak suka berlama-lama serta kudu lambat.
Usai pesawat yang ditumpangi Rania lepas landas dari tanah bertuah ini, aku kembali menatih jalan pulang seorang diri, dalam suasana kerumunan yang riuh, aku merasa sunyi, terik matahari yang terasa sejuk, pun hawa dan polusi yang seakan-akan tak bertepi menjadi keniscayaan bahwa hari itu kesepian telah inkrah serta sah menjadi milikku.
Padahal, barulah sekian menit kami berpisah, tetapi aku sudah merasa kehilangan. Barulah hari itu aku menyadari bahwa Rania begitu berarti bagiku, bagi hari-hariku, bagi kesepianku, juga bagi semua yang telah kujalani selama ini bersamanya. Ia amatlah berarti, lamunanku begitu resah akan perpisahan itu.
Namun, aku menitip secarik pesan padanya, penganan ia selama berada di perjalanan. Pesan itu bukanlah setetes hujan yang dimintanya kepadaku, melainkan sepucuk perpisah serta setetes kerinduan yang nantinya akan mendera lamunan kami. Aku mewanti-wanti hal ini dari jauh-jauh hari:
Bersama dengan kerinduan ini: dengan berat hati aku tulis surat perpisahan untukmu, kekasih. Tak sepatutnya kau tahu tentang ini, tentang gelapnya langit, sunyinya hati, dan sasus yang membawa kerisuan. Bahkan tak patut pula kau bertanya akan berita yang aku bawakan. Kau hanya perlu membaca surat ini dengan penuh ketabahan, tanpa ada sedikitpun remuk rindu dan dendam.
Dengan berat langkahku gerakkan jari-jemari untuk menulis surat ini, kekasih. Tak sepatutnya kau faham akan ini, tentang pilu di kejauhan, tentang lara dalam dekapan. Bahkan tak patut pula kau ketahui akan bagaimana masa--depan. Kau hanya perlu membaca semesta, membaca kondisi, serta membaca surat ini dengan perasaan.
Kepadamu, aku tulis surat ini di malam yang terang, kekasih. Tak sepatutnya kau ketahui tentang lilin yang padam, tentang purnama yang di adang arakan awan. Bahkan tentang pelita yang saban gelap kau nyalakan. Kau hanya perlu memaknai kegelapan, membaca firasat alam, serta membaca surat yang aku kirimkan.
Kepulangan Rania merupakan perpisahan pertama dalam jalinan kasih kami. Hanyalah kerinduan yang selalu menyelimuti jarak antara aku dan dia. Belum lagi akan kepergianku ke kota nan jauh dalam pekan depan, sungguhlah menjadi suatu kesunyian yang kucari sendiri. Bahkan menjadi noda rindu serta lara pilu yang tanpa sengaja tumbuh menjamur di antara kami berdua.
Betapa tidak. Di masing-masing kejauhan, aku dan Rania sama-sama sibuk dalam urusan masing-masing. Ia sibuk dengan lingkungan dan keluarganya, aku sibuk dengan kelana rantauku, bahkan sibuk mencari setetes hujan untuknya yang telah berlalu-lalu belum kuberikan.
Namun begitu, sepanjang malam tiba, waktunya selalu kami prioritaskan sebagai sarana bercumbu mesra, walaupun hanya melalui jejaring penghubung udara, pesan singkat dan media sosial. Ini telah menjadi komitmen kami berdua, sebelum memutuskan untuk berjarak. Menariknya, di seberang gawai, kami menjadi semakin langgeng, tetapi Rania tak kunjung lupa pada permintaannya padaku. Ia amat mengingatnya dengan baik-baik.
Di akhir perbincangan, ia selalu mengingatkanku pada tetesan hujan yang dimintanya. Tanpa mahu menerima alasan apapun dariku, di samping ia juga tahu bahwa di kota tempat aku berada sedang dilanda musim penghujan yang panjang.
"Di sana sedang musim hujan, kan?" tanya Rania.
"Iya. Aku akan membawakan setetes hujan untukmu," kataku.
"Sok paten kali lah kau ini, sudah berminggu-minggu permintaanku tak kunjung tiba," katanya.
"Yang sabar. Aku tahu kamu adalah gadis yang tabah," ucapku. Di seberang telepon. Rania menghela nafas panjang mendengar ucapanku.
"Maaf, bila aku telah merepotkanmu," katanya lagi.
"Kau berhak atas itu. Aku ini kekasihmu," ujarku.
"Kau memang ahli dalam perdebatan. Aku tak cukup kata-kata denganmu. Terima kasih telah mencintaiku dengan begitu istimewa," ucap Rania.
Malam telah larut di pagi, jalanan lengang sunyi. Hanya suara jangkrik dan kicau jampok (sebutan untuk burung hantu bagi masyarakat kami) yang mengisi hening malam itu. Aku dan Rania, masihlah bercumbu mesra di sebatang telepon. Jarang-jarang, kami bercakap panjang lebar melalui jejaring udara seperti ini.
"Kampungku tak seperti dulu lagi, telah banyak berubah. Mulai ditempati orang-orang baru (pendatang) yang sama sekali tak aku kenal. Aku seperti orang asing di tanah airku sendiri," kata Rania.
Bersambung....
Penulis; Adam Zainal, Novelis dan Jurnalis, tinggal di Bireuen, Aceh.

إرسال تعليق