Berselang rumah Asoka, Syahdan, lelaki paruh yang baru bermukim di kampung itu berasal dari kampung Lamar, kuga diusir warga bersebab dituduh sebagai pembawa aliran sesat. Rania, baru tahu berita ini setelah beberapa hari ia tiba di kampungnya.
Rania, lahir di kampung yang asing, pedalaman rimba, di bawah tubir gunung, jauh dari pusat kota. Ayahnya seorang petani jernang dan penggembala, ibunya melakoni hidup layaknya seorang ibu rumah tangga; kadangkala menyisihkan waktu untuk mengajari kanak-kanak di kampung untuk belajar mengaji.
1995, ketika Rania masih balita; ayah dan ibunya pergi meninggalkan kampung halaman, bertandang ke Banda, negeri Pasanggrahan, tanah bersemayamnya raja di raja, bumi ayahnya dilahirkan. Alasan kepindahan ini, kata Rania mutlak karena faktor ekonomi keluarga.
"Aku telah hidup dan besar di Aceh dari puluhan tahun lamanya. Aku ini orang Aceh, bukan orang Minang. Bilapun datuk moyangku berasal dari nagari Padang, tapi mereka juga berasal dari Aceh, bertugas di sini semasa kesultanan Aceh masih berkuasa". Aku mendengar dengan baik pemaparan Rania. Ia antusias mencari jati diri dan nasabnya.
Kepulangannya kali ini ke ranah Minang, tak sekadar untuk membuang jenuh, namun lebih kepada mencari dan menjemput sejarah keluarganya yang telah lama hilang. Di samping mengumpulkan semua bebunyian, sasau angin, deru hujan, kicau bayan, pun rembang petang yang diyakini sebagai warisan leluhurnya.
Selama hayat, ia telah hidup di tanah leluhur, bumi tempat ayahnya dilahirkan. Ayahnya bernasab bangsawan, ibunya juga demikian, berdarah biru Minangkabau, anak dari seorang terpandang; penguasa Sawahlunto masa silam—aku begitu yakin dengannya, ia merupakan gadis bangsawan.
2004—, waralaba telah membawa pundi, membawa jiwa, membawa nyawa banyak manusia; Tsunami tanah serambi, tak hanya menjadi ratap bagi Rania yang masih kanak–remaja kala itu. Namun, juga menjadi kehilangan berarti bagi dua orang adiknya yang masih balita; Arbi dan Arka.
Sementara ayah dan ibunya dibawa arus, air bah yang telah meluluhlantakkan Banda, hilang tak berpusara. Kepergian orang tuanya menghadap Rabb Azza Wa Jalla, merupakan kehilangan yang tak bisa dilupakan begitu saja. Rania, menjalani hidupnya dengan adik ayahnya; Hamdan dan dua adiknya yang masih balita; Arbi dan Arka yang kini telah menjadi muda sebaya.
Bagi seorang perempuan muda yang kini hidup sebatang kara, Rania merupakan salah seorang dari jutaan perempuan di dunia yang tabah atas kehilangan, menghadapi bala bencana, serta masih bersemangat menjalani kehidupan dengan biasa-biasa saja. Bilapun rasa kehilangan sampai kini masih melekat di jiwanya, ia tetap ingin terlihat tegar, bahkan kerap berpura-pura seperti orang yang telah ikhlas–rela pada kepergian.
"Bagiku, kehilangan bukanlah suatu yang asing. Misal kau mahu pergi dariku; pergilah, aku tak akan mencegahmu, pun tak akan merasa kehilangan lagi," katanya di seberang.
"Bila aku tak berkenan, pun enggan untuk pergi?"
"Maka, cintailah aku setulus hati". Jelma Rania begitu jelas di mataku, ia mengatakan itu dengan wajah yang teduh dan penuh arti. Padahal kami sedang bercakap-cakap melalui gawai dipisah ratusan kilometer jaraknya.
Beberapa menit, usai perkataan Rania menyibak lamunku, aku terdiam dan kaku. Obrolan kami sempat terhenti sesaat, di seberang, gadis pujaanku itu menghela nafas panjang.
"Kenapa kau diam, apakah perkataanku barusan membebanimu?" tanya Rania.
"Tidak. Sama sekali tidak. Malahan aku bahagia sekali mendengarnya. Itu suatu ucapan yang manis, Ra," tukasku.
Bersambung...
Penulis; Adam Zainal, Novelis dan Jurnalis, tinggal di Bireuen, Aceh.

إرسال تعليق