Part 2.
"Oh iya. Aku belum menemanimu menulis," tukasnya.
"Itulah."
"Baik. Aku akan menemanimu". Rania beranjak dari tepi pantai, beriringan menatih laju ke meja kopi tempat semula kami menyantap matahari di hari itu.
Menjelang petang tiba. Matahari masih peluh di langit yang beringsut, sebentar lagi senja akan merekah di langit Banda. Aku kembali membuka notesku, melanjutkan rutinitasku sebagai seorang penulis amatiran, di samping menyajikan berita yang hendak kukirimkan ke meja redaksi, di media tempat aku membabu diri.
Hampir sepanjang pekerjaan, Rania selalu menemaniku, ia tak hanya duduk membeku dan kaku, tetapi ikut membantuku dalam meramu, membenarkan tulisan, pun sesekali ia beraksi layaknya kurator atau editor yang mengoreksi serta mengevaluasi beritaku.
"Tak perlu buru-buru. Nanti banyak yang salah tulis," kata Rania kepadaku. Ia begitu cermat memperhatikan jemariku yang melentik di keyboard laptop. Pun, dengan seksama mengulas tentang apa yang sedang aku tulis. Sesekali ia menatapku dalam-dalam: menatap masa depan yang suram menjadi seorang jurnalis lokal, serta seorang penulis amatiran yang pemasukannya amat terbatas bahkan tak menentu.
Hal inilah yang kadangkala terbesit di hatiku. Aku ragu apakah hubunganku dengan Rania akan sampai ke tahap selanjutnya, atau pula akan pupus di tengah jalan, sebab aku belum layak menjadi calon suami dengan pemasukan yang pas-pasan sampai dengan saat ini.
"Walaupun kau tak diupah dengan bayaran yang setimpal, pekerjaanmu ini suci. Aku menyukainya. Kau selalu menulis dengan hati, bukan atas kepentingan orang lain dan mengharap imbalan atas itu," katanya lagi. Sepertinya Rania tahu betul apa yang sedang aku pikirkan, seakan-akan ia telah merasuk masuk ke naluriku.
"Terima kasih, Ra. Sejauh ini kau telah menemaniku," ujarku. Ia tersenyum menatapku, aku pun demikian.
Petang itu, adalah hari terakhirku bersama Rania, sebab, malam nanti ia akan menempuh jalan pulang: pulang ke tanah leluhurnya ke jiran yang jauh. Semua tumpah ruah, cinta kasih dan remuk redam perasaan kami selama ini tertumpahkan di bibir riak, disaksikan langit panca warna, juga deru laut yang asik.
"Hari ini langit amat Indah, Dam," kata Rania kepadaku. Kepalanya menengadah matahari yang hendak tenggelam di kaki bukit.
"Iya, tapi tak seindah matamu, Ra," jawabku. Seketika aku berhenti sejenak dalam menulis. Aku menoleh, menatap Rania dalam-dalam, sedalam kasihku padanya. Namun, ia masih menengadah langit, menitip doa, bahkan melukis ragam rupa kenangan.
"Bisa saja kau, ini," sekata jeda ia menimpali ucapanku barusan.
"Hehe. Senyum dong." Paksaku. Rania masih datar dan terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Lalu ia memaksakan diri untuk menyungging sepatah senyum kepadaku.
"Sebelum aku pulang ke kampung, aku akan memberimu sesuatu, Dam. Kuharap kau dapat menjaganya dengan baik dan penuh kasih," ujar Rania.
"Akan aku jaga sebaik mungkin, semampu cinta kasih dan ketulusanku," jawabku.
"Akan kuberikan sepotong cinta untukmu, supaya aku tidak melupakanmu saat telah tiba di kampung," katanya. Rania menatap peluh, penuh pertimbangan dan rasa ingin tidak berpisah walaupun hanya sekejap waktu.
"Terima kasih banyak, Ra. Aku akan menjaganya dengan jiwa dan sepenuh hati," ucapku.
"Baiklah. Ini mahu magrib, apakah kita sudah bisa pulang?" Rania mengajak untuk pulang, malam akan segera tiba. Sesaat lagi gema adzan akan berkumandang di Meunasah tepian pantai.
"Yuk. Mari," ajakku. Rania beranjak dari kursi, lalu seorang pramusaji datang menghampiri meja kami.
"Oh iya. Jangan lupa dengan permintaanku padamu," gadis itu kembali mengingatkanku pada setetes hujan yang dimintanya kepadaku.
"Baik. Permintaan anehmu akan aku turuti," kataku lagi.
"Apakah menurutmu itu permintaan yang sulit terkabulkan? Atau kau akan menyerah dengan itu?" timpalnya. Kini giliranku yang balik menatapnya dalam-dalam. Aku ingin memastikan apakah kekasihku itu masih waras, atau sedang dirasuki roh halus, sehingga ia dengan amat santai meracik permintaan dengan ketidakwarasan seperti itu.
"Haha. Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Rania seraya tertawa.
"Aku sedang mencari keanehan di wajahmu," kataku. Rania kembali tertawa, malah sebaliknya, aku yang terlihat aneh di matanya.
Usai magrib. Aku dan Rania kembali singgah di sebuah warung kopi tepian kota sekadar untuk sarapan malam, pun melepaskan gagu batin atas perpisahan kami yang hanya tersisa beberapa jam lagi. Sebab, esok hari gadis pujaanku itu akan berangkat; pulang ke jiran yang jauh.
"Kenapa kamu bengong?" tanya Rania. Aku hanya menekuk, lalu menatapnya datar.
"Apa kau sedang memikirkan pekerjaanmu yang belum tuntas?" tambahnya. Aku mengangguk, karena masih ada beberapa pekerjaan yang belum sempat aku selesaikan.
"Aku lagi bingung. Hahaha," kataku, seraya tertawa lepas.
"Aneh. Orang bingung kok ketawa," timpal Rania.
"Akhir-akhir ini aku bingung dengan teman-temanku. Aku mencemaskan sesuatu," jelasku.
"Maksudmu?" tanya Rania lagi.
Begini, aku jelaskan padamu. Aku mencemaskan teman-teman yang tak mahu berpikir kritis lagi terkait kehidupan sosial, terkait kebijakan, terkait hal-hal yang berkaitan dengan orang banyak. Dan, yang amat mencemaskanku lagi ketika orang-orang keliru memaknai kata "kritis" itu sendiri. Orang-orang sukar beranggapan bahwa kritis adalah wujud dari pembangkangan, pemberontakan, pengacau, serta provokatif. Sehingga orang-orang membunuh serta memupus sifat kritis yang bersandar di diri mereka, atas alasan di atas. Hal Itulah yang sedang kupikirkan, pun membuatku cemas. Bukan pekerjaan yang belum selesai ini.
"Bersebab itulah aku selalu menyukaimu. Kau berbeda dari orang lain," sungging Rania.
"Sepele sekali. Kau mencintaiku hanya karena itu?" tanyaku.
"Iya. Kan, katamu cinta tak selalu hadir dari hal-hal yang besar. Ia ada karena hal-hal sepele dan kecil. Lalu baru tumbuh, mekar, juga membesar," paparnya.
Mendengar ucapan Rania, aku baru sadar bahwa tak semua perempuan adalah pelupa. Rania bukan "Gadis Pelupa", ia pengingat yang ulung. Semua ucapanku tersimpan dengan rapi di benaknya. Dalam waktu-waktu tertentu ia akan mengulang perkataan-perkataan yang pernah kuutarakan kepadanya.
"Aku kira kau pelupa, tak ingat dengan apapun yang telah aku ucapkan selama ini," helaku. Rania hanya mengerucutkan kening.
"Aku bukan "gadis pelupa"-mu. Jadi, jangan samakan aku dengannya," tegasnya.
"Bukan itu maksudku, Ra. Kan, belum aku jelaskan," kataku.
"Iya. Aku paham maksudmu". Aku melanjutkan pekerjaanku, sementara Rania mulai menengadah langit pekat, menatap bintang-gemintang yang baru saja berkedip di barat langit Banda Aceh. Aku tahu persis, bila ia sedang fokus kepada sesuatu hal, maka akan ada perihal yang akan ditumpahkan.
"Begini, tuan". Tak lama hal yang aku duga terjadi. Rania mulai bertausiah. Bila ia memanggilku Tuan, maka pembahasannya tentu serius dan apik. Namun, aku belum dapat berhipotesis terkait apa yang akan diutarakan oleh gadis kesayanganku itu.
"Seperlunya saja, Tuan, tak usah cemas atau mencemaskan sesuatu yang tak sanggup kita pikul. Sebab, lapar adalah pangkal dari segala kegelapan; gelap nalar, gelap logika, gelap pandangan, gelap etika, di mana seseorang yang sedang lapar akan melakukan apa saja, termasuk kejahatan, serta hal-hal rendahan lainnya,"
Aku melongo, Rania melanjutkan pemaparannya, "kau lihat, kondisi telah merubah segalanya, merubah rasa kasih sayang manusia, merubah keimanan insan, merubah kebudayaan, merubah peradaban, bahkan merubah sifat sosial seluruh penduduk bumi," tukasnya.
Rania begitu prihatin akan keadaan dan kondisi dunia hari ini, apalagi terkait urusan budaya; ia amat mencintai budaya yang telah diwariskan leluhurnya yang amat kaya dan megah.
Bersambung...

إرسال تعليق