Malam hendak larut di pagi, deru jangkrik masih memekik sunyi. Ditambah sasau dedaunan yang jatuh diterpa angin gunung, gemuruh sungai memecah tabir; malam panjang yang seakan tak berakhir. Di seberang, suara Rania telah didekap malam, jejaring penghubung masih tersambung, laju waktu berputar dengan cepat. Ia telah dibawa tidur. Sementara aku terkantuk-kantuk memanggilnya.
"Ra…". Lalu, kumatikan percakapan kami, aku beranjak ke kamar, ke katil lapuk, dibawa tidur bersama kebahagiaan yang tak terhingga nilainya.
Hari begitu terik, matahari pagi baru saja mendaki puncak gunung Seulawah, di Lamteuba, perkampungan asri lembah Seulawah adalah rumah keduaku. Tempat dimana aku menghabiskan waktu, membuang kejenuhan, pekik pekerjaan dan masalah yang kerap mendera lamunku.
Pagi itu, Lamteuba begitu syahdu; angin gunung berhembus ke pematang sawah yang luas, merebahkan padi yang sedang menguning, melambai lamunku yang girang, melaju sampai ke persada. Belum lagi suara siul kutilang, auman binatang buas, pekik suara binatang rimba, menjadi nada, pada rindu yang sedang aku senandungkan.
"Esok, abang harus ke Banda," kataku pada Iklil. Iklil adalah adik angkatku di Lamteuba, ibunya telah menjadi ibuku. Aku tinggal di rumahnya, di lembah Seulawah yang sendu.
"baik, bang". Ia tak panjang lebar denganku, pun tahu bagaimana sifatku yang, bila telah mengatakan "ini" tak akan berubah menjadi "itu".
Tak berselang lama, Mak menghidangkan kopi pagi untukku dan Iklil. Ia menanyakan tujuanku ke Banda, barusan ia mendengar percakapanku dengan adikku tersebut;
"Kenapa buru-buru sekali ke Banda, bila tak ada yang begitu penting, tinggal saja dulu di sini sementara waktu," kata Mak. Aku tak langsung menyahuti, memilih diam seraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk jawaban atas pertanyaan Mak barusan, supaya ia percaya dengan ucapanku, bahkan berupaya menjaga perasaannya untuk tak tersinggung.
Namun, Mak bukanlah orang yang ribet dan banyak basa-basi, ia paham pada semua hal; paham pada gelagat tubuhku, paham pada raut wajahku. Ia telah paham sebelum aku menjawab pertanyaannya.
"Baiklah. Nanti bila kamu balik ke Bireuen, kamu singgah di sini lagi, bareng satu atau dua malam," tambahnya.
"Baik, Mak. Insya Allah. Saya harus ke Jawa, makanya sedikit buru," kataku.
"Hati-hati. Jangan lama-lama, pokoknya nanti pas pulang singgah lagi di sini," ujarnya lagi.
Di layar gawaiku, pesan dari Rania telah beberapa menit yang lalu bersandar, serupa besandar boat para nelayan gampong Pangah di tepian pantai Krueng Raya, khidmat dan tabah diterpa badai dan ombak pasang. Demikianlah tabahnya Rania di seberang menanti balasanku.
"Sedang dimana? Maaf, semalam aku ketiduran," tulisnya disertakan emot ketawa.
"Masih di Lamteuba. Aku baru lihat HP," balasku.
"Kau belum bergerak ke Banda?" tanyanya.
"belum, rencana esok pagi aku ke Banda," balasku lagi.
"Kau jadi ke Jogja?" tanya Rania lagi.
"esok petang aku berangkat," kataku.
"Hati-hati, ya. Aku tinggal sekejap," balasnya.
Rania pamit entah kemana, entah melanjutkan misinya mencari deru bising hutan, bisik belantara, atau pula derau sungai yang selama ini diyakininya bagian dari warisan leluhurnya. Sementara aku masih memangku lamun dengan gelas kopi yang baru saja dihidangkan Mak.
Matahari mulai beranjak ke barat langit Lamteuba, kabut menyusup ke sela-sela rimba, melingkupi belukar, hijau rumput dan batang-batang pepohonan di kaki Seulawah. Hawa sejuk memeluk tubuhku yang semakin hari semakin kurus, embus angin membelai lamunku—aku masih ingat tentang kesenangan semalam dengan Rania kekasihku.
Bilapun bahagiaku tiada bandingnya, namun hatiku merasa sepi—aku rindu pada Rania yang baru beberapa hari jauh dariku. "Kekasih, jauh padamu membuatku menderita. Aku tak bisa, tiada kuasa. Kembali lah," gumamku.
Mungkin ada benarnya tentang idiom yang teramat sering dikatak Rania kepadaku bahwa "penulis adalah orang-orang yang kesepian, kemudian menghibur diri dengan frasa-frasa, dengan imaji liar untuk menutup kesepian supaya tak nampak ke permukaan". Kali ini, aku merasa apa yang telah berulang kali dikatakan Ra ada benarnya.
"Ra, benar katamu, kini aku merasa kesepian," tulisku di seberang. Rania tentu tak melihat atau tak sedang memegang gawai, ia sedang sibuk mengumpulkan bebunyian. Sementara aku tetiba diserang kesepian.
Bersambung...
Penulis; Adam Zainal, Novelis dan Jurnalis, tinggal di Bireuen.

إرسال تعليق