Sungguhlah aneh pintanya; dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, bahkan tahun ke tahun, juga musim ke musim, Rania selalu meminta setetes hujan kepadaku. Baik musim penghujan maupun musim kemarau, pintanya tak pernah berubah, adalah setetes hujan yang jatuh di beranda rumahku yang aku sendiri sulit untuk memilihnya, tetesan mana yang hendak kuberikan kepada kekasih semata wayangku itu.



Ia bukanlah perempuan yang suka menuntut dan meminta apapun yang ia kehendaki. Sama sekali ia tak pernah meminta sesuatu kepadaku, baik di hari ulang tahunnya, ataupun hari-hari penting lainnya dalam kehidupannya. Namun, kali ini berbeda, ia meminta sesuatu yang menurutku amatlah aneh serta tak masuk akal.



"Bagaimana bisa kau meminta setetes hujan kepadaku?" tanyaku kepada Rania. Ia tersenyum, lalu menatapku keheranan. Baginya permintaan itu hanyalah suatu yang biasa, serupa permintaan seorang anak kecil kepada pesawat terbang yang sedang mengudara di langit rumahnya untuk diberikan seorang bayi (adik) untuknya. 


Mungkin demikianlah aku menafsirkan permintaan kekasihku itu. Atau sebaliknya, permintaan Rania memang aneh dan lucu. Tetapi sejauh ini aku belum gila dengan itu. Barangkali nanti, ketika aku sudah benar-benar mengumpulkan setetes hujan untuknya, sehingga aku dibuat bingung harus memilih tetes yang mana? Bukan soalan, tetes hujan bukanlah permintaan yang sulit, apalagi menjelang Desember—Januari; memang biasanya menjadi bulan penghujan.


Matahari masih begitu terik siang itu, di sudut sebuah warung kopi tepian pantai tempat biasa aku dan Rania menyemai kasih dipenuhi begitu banyak pengunjung yang datang dari berbagai daerah di kota kami. Kebetulan kami berdua tinggal di ibukota Provinsi yang tentunya tempat-tempat semacam ini tak lagi menjadi asing. 


Rania merupakan seorang perempuan sederhana, berperawakan manja, mandiri, cerdik dan semampai layaknya perempuan-perempuan lain di kota ini. Tetapi ia berbeda dari gadis-gadis yang lain: sikapnya tak menentu, kadang hangat kadang dingin, kadang ngangenin kadang bikin sebel. Sesekali ia juga begitu usil, jutek, serta ngambekan. Namun, itu adalah hal yang lumrah, juga amat manusiawi, demikianlah sifat perempuan sebenarnya.


Tak hanya itu, kekasihku yang kini genap berusia dua–puluhenam tahun tersebut kebiasaannya juga berbeda dari gadis-gadis lain seusianya. Rania kerap menyukai hal-hal diluar pikiran dan di luar dugaan orang lain. Namun, keanehan gadis berdarah Melayu-Aceh itu merupakan hal yang biasa bagiku, sebab aku telah bersamanya dari hari ke hari, juga tahun ke tahun. 


Bila bepergian ke pantai, bagi mayoritas orang adalah untuk bersenang-senang dengan pasir, bermandi air laut, atau pola melukis dan menulis di bibir ombak, bahkan makan-makan dengan kerabat dan sanak, tetapi berbeda dengan Rania; kalau sedang di pantai ia sibuk mengumpulkan suara riak, deru arus laut,  juga bebunyian reranting cemara yang ditiup angin selat. 


Bahkan, anehnya ia sibuk menerka-nerka arah laju angin, antara utara dan selatan, timur dengan barat, tenggara dengan barat daya. Selalu begitu sampai ia dapat memastikan angin menerpa dari arah mana. Pula, setelah itu dapat dipastikan barulah ia beranjak pada kebiasaan lainnya, bergumam serupa orang yang sedang bersenandung, melafazkan sebuah lagu. Ia sering melantunkan syair-syair melayu kuno tinggalan leluhurnya.


Semua itu ia lakukan dengan begitu serius dan seantusias mungkin. Rania selalu tuntas dalam melakukan sesuatu, sebab ia mengerjakannya dengan begitu telaten juga khidmat, di samping jeli serta teramat teliti. 


Sebagai kekasihnya, aku hanya menemaninya melakukan hal-hal yang sama sekali bertolak belakang dengan nalarku. Namun, di lain sisi aku tak kuasa melarangnya, pun tentu tak tega menghadang kebahagian gadis yang amat kucintai itu. Rania bahagia dengan apa yang ia lakukan selama tidak ada yang mengintervensi atau mencegah pekerjaannya. Apalagi menghalangi serta ikut—campur dalam urusannya.


Tentu tiada yang akan percaya dengan kebiasaan kekasihku itu, hanya hujan dan laut biru yang percaya bahwa, Rania adalah seorang yang sibuk mengumpulkan bebunyian dari semesta, di samping meyakini semua suara rimba merupakan wujud warisan leluhurnya.


"Kau belum selesai dengan duniamu?" tanyaku. Rania tak menghiraukan perkataanku, ia masih sibuk dengan temannya; bebunyian dari laut yang sedari lama telah bermain-main riang dengan gadis pujaanku itu.


"Barusan kamu bilang apa?" ujarnya balik bertanya kepadaku.

"Tidak, sayang. Aku tak ngomong apa-apa. Lanjut lah," kataku—Aku tak ingin mengganggu kebahagiaannya.


"Sebentar lagi akan selesai dan kita pulang," tuturnya. Sepertinya ia mendengarkan ucapanku barusan.


Bersambung...


Penulis; Adam Zainal, Novelis dan Jurnalis, tinggal di Bireuen, Aceh.

Post a Comment