𝑺𝒆𝒌𝒂𝒍𝒊 waktu, ketika aku dan Fikri bertandang ke Nanggroe Daya, tepatnya di Gampong Kreueng Inong, Panga, Aceh Jaya, kami diajak ke 𝑳𝒂𝒎𝒑𝒐𝒉 𝑫𝒓𝒊𝒆𝒏 (Kebun Durian) oleh Reza yang terletak di Gunong Rambong kala musim durian tiba. Ia mengajak kami untuk dom Drien (menginap di kebun Durian pada malam hari). 

Doem Drien adalah tradisi masyarakat Aceh saat musim Durian tiba. Tradisi itu sudah berlaku dari berabad-abad lamanya, dan turun-temurun sampai dengan hari ini. Doem Drien juga menjadi hal yang ditunggu-tunggu oleh siapapun, di samping bisa menyantap Durian di bawah pohonnya, juga melihat bagaimana saat Durian runtuh di malam hari dengan suara geudheubhuk-nya yang memukau, bahkan punya kesan dan kenangan sendiri.

Reza adalah temannya Fikri. Keduanya sama-sama kuliah di Banda Aceh. Sedang aku mengenal Reza pada Maret yang lalu di Banda Aceh melalui Fikri. pun, pada April lalu Reza sempat bermain-main ke Bireuen, dan aku sempat menjamunya beberapa kali. Menjamunya dengan kopi dan diskusi demi diskusi seputar persoalan Nanggroe kami, khusus persoalan kaum muda.


Kali ini, Reza mengundang aku dan Fikri untuk bermain-main ke kampung halamannya di Panga, yang secara kebetulan sedang musim Durian. Kemudian Fikri mengajakku ketika kami berangkat ke Banda Aceh dari Bireuen pada Rabu petang. Lalu kami sepakat untuk berziarah ke Panga, Aceh Jaya di samping sedikit menghilangkan penat di era new normal ini.

Sabtu pagi, dalam terik matahari yang membakar bumi Kutaradja kami bergegas untuk bertandang ke Aceh Jaya menempuh perjalanan yang sedikit jauh, jalanan yang berliuk, berkelok-kelok dan sepi. Hanya dihuni oleh satu dua kendaraan yang melintasi jalan nasional Aceh Jaya- Meulaboh tersebut. Sepanjang jalanan, yang banyak kami dapati adalah kawanan Leumoe yang akhir-akhir ini menjadi publik figur di Nanggroe kami Aceh. 

Selepas melewati Guruete, kami singgah di SPBU Lamno, mengisi bahan bakar dan melanjutkan kembali perjalanan ke kota Calang, kota gemilang di wilayah barat selatan Aceh setelah pemekaran dari Kabupaten induk Meulaboh, Aceh Barat.


Di Panga, ada sesi dan tradisi yang unik dan berbeda dengan tempat kami Bireuen ketika sedang Musem Boh Drien tiba; Musim durian juga berbarengan dengan musim Leumang bagi masyarakat barat selatan Aceh tersebut. Di mana antara Boh Drien dan Leumang adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Tradisi unik ini baru aku dapatkan di sini, di bumi Daya ini.

Leumang adalah makanan khas Aceh yang terbuat dari ketan dan santan yang dimasukkan ke dalam bambu lalu dibakar menggunakan bara api, hingga ia matang. Lalu, cara menyantapnya harus dengan Durian. Jadi, jika belum menyantap Boh Drien dan Leumang Panga berarti kita belum dinyatakan sah datang ke Negeri di bawah kerajaan Meurehom Daya tersebut, " kata Reza kepada kami.

Boh Drien dan Leumang memang menyimpan kelezatan dan kenikmatan tersendiri ketika keduanya kita padukan dengan aroma kopi Gayo. Di Lampoh Drien kami juga menikmati seusana yang jauh berbeda dengan di Kota, alamnya yang asri, pegunungan yang masih hijau berkilau, pun kicau-balua ragaman suara burung yang bersahut-sahutan menjadi irama asing yang jarang kita dapatkan pada masa dunia yang serba canggih ini. Namun, yang ingin kami katakan bahwa di sini; di Panga ini semuanya masih alami.

Baru kali ini aku mendapati pegunungan yang masih utuh, kukuh berdiri dengan pepohonannya yang tumbuh merambah di peluk kabut-kabut, dan langit mendung. Tanah yang basah kusam dipayungi ririmbunan dahan-dahan menbawa hawa sejuk yang jarang memeluk kehangatan. 

Pagi datang kembali, di sela-sela pohon Durian yang menjulang, suara burung kembali berkicau riang. Sinaran cahaya matahari dari timur langit Aceh mercerca relung dedahan. Aku menikmati pagi itu dengan khusyuk dan khidmat, tak ingin beranjak pulang ketika kata puas tersematkan. Di sini, aku melihat Aceh dengan kekukuhannya, masyarakat yang kosmopolit, sopan santun dan baik hati membuatku betah dan ingin berlama-lama di kampung yang dilingkari pegunangan itu. Namun, ada ihwal yang tak bisa kutinggalkan, selepas Zhuhur kami harus segera kembali menempuh jalan pulang.

Kemudian kami pamitan untuk kembali kepada Reza, si tuan rumah yang telah menjamu kami semulia itu. "suatu nanti, aku pasti akan kembali lagi ke sini," kataku. 

Panga, Juni 2020.
Kinet BE


Post a Comment