𝐒𝐞𝐤𝐚𝐥𝐢 waktu di tempat yang berbeda, aku mendapati Apa Suman dalam deru hilir ombak yang melambai tepi, juga buih-buih merayap senja bak permadani di tepian pantai kami; ya pantai kami yang sepi itu. Petang itu, laut teduh dan sunyi, bagaikan ilalang yang sedang merindukan gemuruh angin bernyanyi. Senja di langit Gampong Lumpoe begitu cerah, memerah ke-emas-emasan. Sinarannya tumpah dan lebur dalam alunan gelora.

Aku menghampiri Apa Suman untuk sekadar bercakap-cakap tentang kondisi terkini Nanggroe Kami; Kami memilih pantai sebagai tempat yang damai untuk menikmati secangkir kopi sareng sebagai perekat dalam diskusi, juga ditemani hidangan Bada (pisang goreng) dan Buleukat (Ketan) yang masih panas. Kue-kue itu adalah warisan dari laut; Laut kami berabad-abad lamanya.

"Nyak Dam, apa yang akan kau lakukan dalam hidupmu kini, untuk persiapan dimasa tuamu kelak?" tanya Apa Suman tiba-tiba. 

"Aku tidak punya cita-cita besar dalam hidup ini. Hidupku sekarang hanya sebatas untuk mencari arti di balik jatidiri. Bahkan, aku rasa cita-cita itu tidak terlalu penting, hal yang penting dalam hidup ini adalah meninggalkan sejarah yang mampu kita wariskan kepada anak cucu kita dimasa hadapan," jawabku.

"Kau lihat bocah-bocah kecil itu, nyak Dam! Mereka lebih merdeka daripada kita. Tanpa ada beban apapun di kehidupan dan di benak mereka. Tidak sama dengan kita, jauh dari kata-kata merdeka dan hidup dalam beban, bahkan kita adalah kaum-kaum yang dibebankan," ujar Apa Suman sambil menunjuk kearah bocah-bocah yang ada ditepi pantai sana. kanak-kanak itu sedang bermain ria, memangku kecerahan matahari yang hendak tenggelam di kaki langit. Senja kala berkilau, pun buih-buih berbusa dalam dekapan bocah-bocah yang tak berdosa itu.

"Kelak, kau juga akan merasakan bagaimana menjalani hidup menjadi seorang ayah diantara anak-anakmu. Ku-do'akan supaya Allah memberikan anak yang shaleh dan shaleha kepadamu kelak nyak Dam, juga taat kepada Allah SWT," lanjut Apa Suman lagi. 

"Semoga saja, Apa. Impianku hanya satu dalam hidup ini. Membina sebuah rumah tangga kecil dan sederhana bersama keluarga kecilku kelak, itulah impianku yang utama Apa," imbuhku. 

"Jroh, Nyak Dam. Semoga kelak akan ada Nyak Dam yang baru yang bisa melanjutkan jalanmu ini," timpalnya.

Malam telah tiba, hening sunyinya menemani lamunan nan sepi Apa Suman. Desiran angin mengembus sampai ke rongga-rongga. bulunya berdiri cetar, merangsang bak ilalang yang kerontang di musim kemarau. Ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan sehelai kain sarung, seperti kebanyakan orang Aceh pada umumnya.

Di hamparan nan jauh di sana, suara ombak bersiul, seumpama irama seruling para penyair. Lautan bergelora memancarkan cahaya dari sinaran purnama. Buih-buih, juga kunang-kunang dengan cahaya kekuningannya menghiasi pantai sepi itu. Tubuhnya mulai kedinginan, embun malam menbasahi rerimbunan semak belukar di beranda gubuk reot tempat kami berteduh. Mulutnya mulai menguap, pertanda ia sedang mengatuk. Apa Suman mulai bergegas untuk tidur, sekajap matanya hendak dipejamkan suara syair-syair tua itu menggema di telinganya. Lamunannya dihentak dengan suara petuah-petuah Aceh tersebut.

Eo Bangsa Aceh kurue Peujuang
Nanggroe peunulang jaga le gata
Aceh silahon Khadiron kalam
Teuleubeh pangkai ateuh rung donya.

Hai lahon meupreuk breuh leukat adang
Peuneuwoe intan Reusam Bintara
Qanun ngon adat saban ta paban
Bak Meurah intan salen le gata.


Syair-syair itu terus menggema, mungusik lamunan Apa Suman. Sedang aku masih mematung di beranda, dan tak mendengar suara apapun, apalagi suara orang yang sedang melantunkan syair.

Dikesunyian malam, selaksa peristiwa kelam nan pahit itu terus menghantui tidurnya Apa Suman. Semalaman itu ia tidak bisa tidur, larut ngelantur dengan tidak jelas. Lalu ia beranjak dari tempat tidur dan bergegas melangkah ke tepi Kuala. Jarak Kuala hanya beberapa puluh meter saja dari gubuk reot tempat kami berteduh. Aku mengikutinya dari belakang, berjalan beriringan seperti anak-anak melakukan gerak jalan pada acara festival tujuhbelasan.

Kuala dengan airnya yang keruh kecoklatan seakan menjadi sahabat baik untuk Ia kisahkan cerita demi cerita, terutama dengan suara-suara syair yang baru saja menguping di telinganya. Ia menatap langit yang dipenuhi bintang-gemintang. Langit bersih dan cerah, purnama mulai beranjak ke arah barat langit Gampong Lumpoe. Tatapan matanya begitu tajam, ia sedang merenungi sebuah masalah yang sedang dialaminya selama ini.

Mate aneuk meupat jirat,
Gadoh adat pat tajak mita

Lelaki renta itu mulai melantunkan syair-syairnya. Ia tak peduli pada sekitar, bahkan aku yang sedari petang menemaninya. Dengus helaan nafasnya begitu panjang, terngiang sedu-sedan di temaram malam, sekilas membuang sedikit beban yang kini dipikulnya. Sebenarnya, apa tujuan daripada perjuangan panjang ini? Hingga semua orang ditawan dan dihantui masa-lalu?" gumamku kala itu. 

Lembayung ufuk di timur mulai menyapa. Pagi yang cerah dan bugar seakan membawa tawa. Namun, Apa Suman masih meretapi angan, di kehampaan lamunannya yang lunglai dipandang mata. Bahkan ilalang-ilalang kini tertawa ria, menanti datangnya sinaran sang surya. Semalam ilalang-ilalang tersebut kedinginan di-empas embun dan angin malam yang bertiup sampai ke pengujung persada.

Apa Suman beranjak bangkit dari tepi Kuala, berjalan tergopoh-gopoh menuju ke tempat semula kami berteduh. Batu-batu kecil di hamparan Kuala itu seakan menjadi saksi bisu atas keluh kesahnya.

Bersambung...

Gampong Lumpoe, Juni 2020.
Kinet BE

Post a Comment