"Tapi, kata para petinggi,  kita sudah Meudelat (Berdaulat), Apa, dengan perdamaian ini?" sambung pria berbadan tegap tersebut.


“Meudelat, katamu? Memangnya Aceh seu-Meudelat apa? Kau tahu, Seuhak. Kita teregulasi dalam mengendalikan Aceh, kita gagal dalam mentransisikan para Teuntra Nanggroe untuk hidup makmur dan sejahtera, seperti yang tertuang dalam nota kesepemahaman MOU Helsinki. Bahkan, lebih parahnya lagi, kita kembali tertipu. Sedang anak yatim syuhada, inong bale, dan konflik samapi hari ini masih bergulat dengan dendam dan delima. Mereka masih hidup dalam penderitaan. Para elit GAM yang telah menjadi pucuk pimpinan Nanggroe ini tidak pernah mempedulikan mereka. Para elit kita lalai dengan kursi empuknya di istana. Mereka seakan sudah lupa bagaimana menderitanya bangsa ini dalam perjuangan, puluhan ribu nyawa menjadi korban, anak-anak menjadi yatim, juga perempuan menjadi janda," papar Apa Suman.


"Apakah kita GAM juga akan dicap sebagai pengkhianat oleh generasi mendatang, seperti halnya kita mengklaim para pejuang DI /TII dulu sebagai pengkhianat?" tanya bang Seuhak kemudian.


“Tentu, dan itu adalah resiko yang harus kita terima, Seuhak. Sebagai Teuntra Nanggroe, kita hanya punya dua sematan nama yang akan disematkan oleh rakyat dan generasi masa depan, antara pejuang dan pengkhianat. Dan ini adalah konsekuwensi yang harus kita terima,” tutur Apa Suman.


"Tapi, Apa. Bukankah dengan MOU Helsinki Aceh ini akan berdaualat?" 


"Kau ingin membahas tentang kadaulatan, bukan? Sekarang aku akan menjelaskan tentang kadaulatan Aceh pasca damai ini,” sahut Apa Suman. Percakapan kedua eks teuntra Nanggroe itu pupus di tengah jalan. Pemilik warung kopi hendak menutup Kedainya, jarum jam beranjak pada angka 01:30 WIB. Keduanya sudah sepakat untuk melanjutkan pembahasan tersebut dilain waktu, seraya mengisi rindu yang sudah lama dipendam. Malam itu, aku hanya menjadi pendengar yang budiman, menyimak dengan seksama dan khidmat cerita-cerita para peutuha Sagi kami yang namanya pernah tesohor ke seluruh penjuru Pulau Rudja.


Suatu malam di “Balee Beuet” (balai pengajian) milik Teungku Ma'e (Abon Ismail) guru ngaji kami sewaktu masih bocah-bocah. Kami mengaji rutin setiap selepas Magrib di rumahnya. Nanggroe kami itu dikenal dengan nama keramat "teuleubehnya" oleh dunia sejak berabad-abad lamanya," kata Teungku Ma'e kapadaku kala aku masih kecil. kata Teuleubeh tersebut semacam ruh dalam kehidupan masyarakat Aceh dari generasi ke generasi. Ia tumbuh merebak membersemai sepenjang hayat dunia. Bagi orang Aceh, Teuleubeh adalah bentuk kelebihan (kemuliaan). Aku mendengar kata-kata itu dari mulut ke mulut, semenjak aku kecil sampai dengan sekarang. Para peutuha di kampung kami sering melontarkan kata Teuleubeh tersebut kepada kami anak-anak sebagai cara mengaplikasikan ruh-ruh juang dan semangat.


Sekali waktu, Apa Suman, Bang Matnu, Lem Dawod, juga Abu Li Pirak dan beberapa pengunjung warung kopi duduk berembuk di Kampung. Warung itu milik bang Matnu, sang barista ulung di Sagi kami. Para peutuha di Sagi kami belum mengenal technologi secanggih sekarang, bahkan bola pijar hiasan yang alirannya tersalurkan melalui tali dengan deretan tiang-tiang besi, juga tiang temboknya tak pernah membetang di dusun kami. Baru akhir-akhir ini aliran Listrik masuk ke kampung ini," kata Apa Suman.


Sagi itu tergolong dalam daerah peralihan, jauh dari peradaban istana. Di sini kami hanya berteman manja dengan pekatnya malam, juga ditemani buram keremangan “Panyöt culôt” (lampu teplok) era penjajahan. Dengan cahaya merah kekuningannya, ia tulus bersahaja dalam menerangi mata dan hati bocah-bocah Aceh dalam mengenal Alif ba," kisah Apa Suman. Kini, setelah belasan tahun lamanya. Bahkan Aceh sudah damai, dusta, janji manis, juga tipu daya, belum juga mangkat dari tanah ini.  Padahal mereka sudah belasan-tahun lamanya memperjual-belikan Aceh dan perjuangannya. Sementara banyak perempuan Aceh telah menjadi janda, dan anak-anak juga menjadi yatim. Kini, masih pula lagu lama itu didendangkan kembali dengan arasemen baru? Masih juga jargon-jargon Meudelat itu digaung-gaungkan. Sungguh, kita tak punya lagi urat malu? kata Apa Suman.


Meudelat. Sekali Meudelat tetap Meudelat. "Memangnya Aceh ini seu-Meudelat apa, Seuhak?" Cetus Apa Suman kembali mengulang  pertanyaannya beberapa hari kepad Bang Seuhak. Sedanga Bang Seuhak kian terpaku, menatap segelas kopi sareng di atas meja bundar diskusi ala peutuha Sagi kami. Apa Suman masih meramu percapakan tentang kata-kata "Meudelat" tersebut.


“Sedang di sini kita masih meraba terang dalam gelapnya malam, inikah sejatinya arti Kedaulatan? Sudahlah, sebenarnya kita se-berdaulat apa? Hidup masih bergulat dengan gelap, kemiskinan, kesengsaraan, dan jalan-jalan masih berliuk bak kubangan Kerbau. di sana, di kota-kota metropolitan itu, juga di gedung megah itu, para pemangku jawata hidup kaya, atas kemalaratan rakyatnya, juga atas budi luhur, bahkan moralitas generasi masa depan Nanggroe yang kini mulai terkikis,” pungkas Apa Suman.


“Sudahkah kalian menjilati ludah sendiri? (atas janji dan ucap manis kalian di panggung politik), Seuhak? Dan meraba gelap dalam terangnya janji, juga sumpah di atas kitab suci, bahkan ruh-ruh perjuangan yang saban hari kalian perjual-belikan untuk kemaslahatan “prut di miyub pusat” kalian?" Diskusi mulai memanas, Apa Suman menjelaskan dengan panjang lebar tentang situasi dan kondisi Aceh sekarang kepada bang Seuhak. Sedang aku, Abu Li dan Lem Dawod memilih berdiam diri, tak ingin menanggapi sepatahpun perkataan Apa Suman. Ia tahu bahwa bang Seuhak aktif di partai politik (sebuah partai lokal), pun dekat dengan para petinggi Nanggroe kami. Jikapun sebelumnya bang Seuhak menutup profesinya saat ini.


"Sedang di dusun kita, bahkan banyak dusun-dusun lain di Nanggroe ini, kehidupan masyakaratnya, Eks Kombatan, juga yatim korban konflik masih serba ketertinggalan. Jauh tertinggal seabad lamanya dibandingkan dengan negara orang. Apakah ini yang dinamakan Kedualatan? Pemerintah sendiri atau “atoe droe keudroe?” lanjutnya.


“Begini, Seuhak. Tentunya, untuk kalian yang duduk di kursi empuk kekuasaan Nanggroe Bertuah ini, atau tolong sampaikan sebentar pesanku kepada para pimpinanmu.  Sudahkah mereka melakukan pencitaraan hari ini? Sudahkah kalian berblusukan hari ini? Sudahkah mereka berseremonial hari ini? Dan lumrahnya, sudahkah kalian memperjual-belikan nama perjuangan Aceh, anak-anak yatim, dan juga inong bale, korban konflik hari ini? Karena, hanya dengan cara itu kalian bisa ber-argumentasi dan mencari popularitas, serta mengumpulkan keuntungan untuk kelompok dan keluarga kalian, ” sahutnya.


“Sudah cukupkah kau bertausiah, Apa? Aku bukan politisi dan elit GAM. sepersenpun tak pernah kumakan Ghanimah damai ini. Kau kira mengembalikan kedaulatan Aceh seperti sediakala bagaikan kita membalikkan telapak tangan. Semudah itukah menurutmu?" ujar Bang Seuhak memotong pembicaraan Apa Suman.


“Sudahlah, Seuhak. Aku tak mahu mereka-reka lagi tentang arti kadaulatan itu. Barangkali 50 atau 100 tahun kedepan Aceh ini akan Meudelat kembali. Dan, untuk saat ini aku tak yakin kedaulatan Aceh bangkit kembali. Sebab apa? Sebab kita telah gagal dalam merawat bangsa ini dengan ketamakan dan kerakusan para elit kita," tepis Apa Suman kemudian.


“Jadi, Seuhak. Jika kamu tidak ingin dicap sebagai pengkhianat maka jangan berfoya-foya dengan “Peng Nanggroe” di depan rakyat, juga di depan anak yatim syuhada, dan janda korban konflik,” tegasnya.


“Apapun yang kamu tuduhkan itu, aku tidak pernah merasa, Apa. Karena aku bukan penyamun dimasa Aceh damai ini. Aku tak ikut terlibat dalam lembaga politik apapun," hela bang Seuhak menepis apa yang disampaikan oleh Apa Suman. Malam makin larut, perdebatan para peutuha Kampungku belum menemukan titik temu. Malam itu, suasana di warung kopi bang Matnu sedikit sepi, tak seperti biasanya. Aku dan Apa Suman sudah begitu lama akrab, sewaktu aku masih kecil dan Aceh masih dalam hura-hara konflik bersenjata. Apa Suman sering mengajakku kemana-mana, bahkan untuk menyeruput kopi bersama rekan-rekan seperjuangannya, termasuk dengan Abu Li, Lem Dawod dan bang Seuhak. Mereka adalah icon pejuang GAM di Sagi kami. Semua masyarakat mengenal mereka, pun kini mereka sudah kembali ke tengah-tengah masyarakat dan menjadi sipil setelah Perdamaian GAM-RI terwujud. Lalu kami membubarkan diri, dan kembali menempuh jalan pulang. Sedang aku harus mengantar Apa Suman ke rumahnya di Gampong Lumpoe. Sepanjang perjalanan ia terus menceritakan berbagai kisah perjuangan GAM kepadu. Bahkan ia menceritakan tentang taktis gerilnyanya bersama Lem Dawod semasa masih menjadi teuntra Nanggroe.


Seutu oetang selepas Ashar, langit masih cerah dan terik, batang-batang Rumbia melenggang rapi, menari-nari di embusan angin pantai. Senja kala langit Gampong Lumpoe menawarkan panorama alam yang begitu aduhai. Riyak melambai tepi, buih-buih berkedip disamar permadani dalam ngepak sayap burung Camar. Kala itu, beban di jiwanya seakan telah sirna, serasa terempas begitu saja. Petang itu lelaki tua tersebut menikmati hidupnya yang mulai senja. Kesenyapan alam telah mampu mendamaikan jiwa dan pikirannya yang selama ini sungguh sumberawut dan berantakan, kisahnya kepadaku. Aku terus memacu sepeda motor bututku dengan lamban, tak ingin melewatkan sepatahpun cerita Apa Suman. Ia sengaja menemuiku sekadar bercakap-cakap dengan kondisi terkini di Sagi kami.


Tak ada lagi rasa rindu, cinta kasih, dan sayang yang terpendam di jiwaku, bahkan saat ini tak ada rasa apapun yang mendekap di sanubarinya, meski belakangan ini ia larut dalam memendam rasa suka, dukalara, dan nestapa. Disadari, sejatinya kesetian dan kasih sayang hanya dimiliki oleh primata tuhan dan semesta ini, sehingga ia menemukan semua jawaban atas alasan hidupnya yang selama ini tak pernah berharap-kasih pada orang lain. Sebab manusia hanya mampu merusak masa depan sesamanya dengan teori yang mereka miliki, serta secara perlahan membunuh karakter ataupun menjatuhkan reputasi orang lain secara terstruktur dan masif.


Pada senja sepetang itu, Apa Suman memaknai jingga sebagai lambaian petang terhadap purnama. Pertanda bintang-bintang akan berkedipan menghiasi kegelapan malam. Ia masih menanti damai di sisa cahaya metahari yang mulai tenggelam. Di sini ditatapnya belukar, daun Putri Malu yang sedang memenjam mata. Di-ucapkan selamat tinggal untuk jiwa di sana, semoga ia terus dalam ketaqwaan. Untuk sementara ini ia ingin berpamitan, menuju tujuan hidup yang belum dapat digapai, masa tua menantinya di sana, katanya. Lelaki tua itu terus bercerita kepadaku, melantunkan semua kisah masa-lalunya. Aku mengamati setiap ucapannya yang, barangtentu menjadi sebuah perjalanan hidup yang dapat kutorehkan dalam tinta, hingga menjadi warisan sejarah di masa depan.


"Sedang apa kau di situ Suman?" tanya seseorang dari arah belakang. Apa Suman menoleh ke arah suara yang menyapanya barusan.


"Oh, Lem Dawod rupanya. Aku pikir siapa tadi," hela Apa Suman sambil bersalaman dengan Lem Dawod. Saat itu ia dan Lem Dawod terus bersama menyisir kampung-kampung dan bergerilya kemana-mana. Keduanya berpisah pada penghujung 2003, ketika Aceh sedang parah-parahnya, dan kembali bertemu setelah Aceh Damai, pertengahan 2005 silam. Ia terus menceritakan masa-lalunya dengan Lem Dawod kepadaku, aku merekam dengan baik apapun yang diutarakan oleh lelaki tua yang teramat kusegani tersebut.


Seketika katanya, dikebisuan malam nan sepi, ia terbelenggu dalam meratapi asa peristiwa kelam dimasa lalu. Lamunannya buyar, ia tergopoh-gopoh berjalan melewati tebing-tebing bukit, pada rentan usianya yang beranjak senja. Ia masih ikhlas dalam mempertahankan perjuangan suci ini. Tujuanya tak lain adalah untuk merebut kembali Nanggroe bertuah ini (Aceh) dari NKRI, dan manjadi Negara yang berdaulat seperti sediakala.


Malam itu, ia tak sempat memuja gelap, berselimut dengan asap-asap dupa para penyembah harapan. Namun, jiwanya diterangi oleh sinaran purnama,  juga ditemani oleh bintang-gemintang di angkasa nan tinggi, pun kunang-kunang yang mengisi sepi malam itu. Di lereng bukit sana, cermelah sinaran rembulan nampak begitu mempesona, ia merasakan kedamaian dalam lubuk hatinya, yang sedikit tenang dengan menatap larut dalam keheningan malam yang panjang.


Di dunia ini, banyak pejuang yang berjuang untuk dirinya sendiri, berjuang untuk jabatan, kekayaan, dan untuk memperkayakan keluarganya. Sangat sedikit pejuang yang berjuang untuk Bangsa, Nanggroe dan Agama," gumamnya kala itu.

Bersambung...

Gampong Lumpoe, Mei 2020
Kinet BE

Post a Comment