Limapuluhdelapan tahun usianya, lelaki itu masih terlihat sehat dan gagah, ia masih mampu melakukan aktivitasnya sehari-hari layaknya masyarakat biasa. Lelaki senja tersebut adalah Apa Suman, seorang peutuha sisa perang di Sagi kami. Apa Suman meninggalkan rekam jejak yang suram ketika perang senjata melanda Aceh. Kala itu, pada 1990-an, ia terlibat dan bergambung dengan AM (Aceh Merdeka). Ia bergabung dengan kelompok pejuang AM pada tahun 1978, dua tahun setelah Hasan Tiro memproklamirkan kemerdekaan Aceh, juga perlawanan Rakyat Aceh terhadap pusat (Jakarta) di gunung Halimon, Pidie.
Semasa mudanya, Apa Suman telah banyak merasakan asam manis kehidupan, apalagi menyangkut dengan persoalan Nanggroe kami, Aceh. Di Sagi kecil ini, masih tersisa traumatisme konflik panjang Aceh hingga dengan hari ini. Ketika itu, Apa Suman menjabat sebagai Majeulih AM tingkat Sagoe (Sagi/Kemukiman). Ia juga salah satu orang yang dicari-cari oleh Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat itu. Namun, takdir baik berpihak kepadanya. Ia masih selamat dari perang panjang Aceh. Pada dasawarsa tahun 2003 sampai dengan tahun 2005, Apa Suman harus meninggalkan dusun kecil kami, ia berhijrah ke luar Aceh, dan kembali ke Aceh pada tahun 2010, lima tahun pasca damai Aceh (15 Agustus 2005) di Helnsiki, Firlandia.
Hingga kini, Lelaki yang dikenal pendiam tersebut tidak pernah mengakui bahwa dirinya termasuk anggota AM, yang akhirnya berganti nama menjadi GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Ia adalah orang yang punya prinsip dan sedikit tertutup terhadap orang yang belum dikenalinya. Padahal, ia merupakan barisan pertama dalam kolompok pejuang Nanggroe ketika orang lain masih belum tertarik dan enggan bergabung dengan gerakan ideologis yang dipimpin oleh sang Plokamator Aceh, Hasan Tiro tersebut. Namun, Apa Suman sudah lebih dulu terdaftar sebagai Teuntra Nanggroe, tetapi ia tetap tidak mahu bereforia dengan masalalunya itu.
"Dawod! Tentara-tentara itu masih menggerogoti kita. Aku rasa, mereka tahu tempat persembunyian kita," kata Apa Suman mengisahkan tentang masa lalunya kepadaku.
"Bertahanlah Dawot, kau jangan bergerak-gerak, nanti keberadaan kita di sini diketahui oleh mereka," hela Apa Suman, kala itu tahun 2003 setelah diberlakukanya Darurat Militer (DM) di Aceh.
Di semak-semak belukar dekat jembatan tua itulah, Apa Suman dan Lem Dawod bersembunyi. Mereka menghindar dari kejaran pasukan serdadu yang sering menyisir ke pelosok-pelosok kampung kami. Bahkan seluruh kampung yang ada di Aceh. Saat itu kondisi Aceh mulai tak stabil lagi, situasi Aceh semakin hari semakin memburuk, bahkan banyak diantara teuntra Nanggroe yang pergerakannya semakin sempit, dan terjebak di belantara rimba, juga tak sedikit pula yang sakit dan meninggalkan medan laga untuk berobat ke luar Aceh, di samping sebahagiannya meninggal dunia.
Lebih dari tiga jam dikepung aparat, akhirnya Apa Suman dan Lem Dawot lolos dari gempuran tersebut. Mereka melanjutkan perjalanan ke gunung dan tak meninggalkan sedikitpun bekas jejak di pedesaan. Perjalanan tersebut ditempuh dengan berjalan kaki, menyusuri pematang Sawah, semak-semak dan kampung-kampung yang sudah menjadi titik hitam dalam radar Negara. Barangkali inilah yang di sebut dengan perjuangan, "hidup tanpa rumah mati tanpa pusara". Menjadi seorang pejuang dalam barisan teuntra Nanggroe bukanlah pilihan yang mudah, apalagi harus bergerilya, menggadaikan nyawa, meninggalkan anak istri dan keluarga di rumah. Tetapi, hal tersebut tidak menyurutkan orang Aceh untuk bergabung dengan GAM. Di satu sisi, menjadi bahagian dari GAM adalah kebanggaan, dan di sisi lain adalah jalan menuju kedaulatan, mengembalikan jatidiri dan martabat, serta sebagai jalan suci melawan kebijakan pusat yang dinilai meng-anggap Aceh layaknya anak tiri di Republik ini.
Suara azan bergema dari Meunasah-meunasah di Sagi itu. Apa Suman dan Lem Dawot baru saja mencapai permukaan belantara. Bukit yang tandus dan terjal, ilalang-ilalang yang mulai tumbuh meninggi, diisi satu dua pepohonan rindang menjulang angkasa, lereng-lereng berbatu dengan aliran sungai kecilnya menjadi jalan untuk para teuntra Nanggroe bergerilya demi kaudalatan Aceh. Dengus suara primata mulai bersahutan, Jangkrik dan Kelelawar juga itu menyeruak lantang dan bising, seperti orang yang sedang berteriak-teriak di tali penyiksaan. Di barat, langit menguning kemerahan, senja kala menjadi pertanda bahwa Aceh sedang dalam ratapan. Nyawa yang berjatuhan dipeluk tangisan bumi, air mata yang deras jatuh mengalir ke peng-ujung Samudra, tumpah darah membasahi Bumo meutuah ini, lekat membekas di aspal jalan dan dedaunan yang kering. Jeritan demi jeritan seakan tak kunjung berhenti, lalu langit mengisapnya dengan penuh duka cita. Aceh, tak cukup tinta untuk menulis dukamu, tak cukup kertas untuk mencatat laramu, tak cukup masa untuk memeluk nestapamu, dunia seakan membiarkan dirimu disiksa, diperkosa dan dibunuh. Semua mata membiarkan dirimu dijarah, dijajah, dan ditindas dengan sukarela, tanpa hak asasi dan keadilan.
"Kita selamat dari moncong Senjata, Dawod. Tapi kelak kita akan mati di ujung Pena," kata Apa Suman. Lem Dawod ternga-nga, ia masih meraba tafsir dengan ucapan Apa Suman berusan.
"Maksudmu, bagaimana Suman? Aku tak paham. Kau jangan menjadi penakut. Walaupun kita harus mati di peng-ujung Bedil musuh, perjuangan ini harus kita lanjutkan. Bukankah kita sudah memilih mati demi anak cucu kita dikemudian hari?" timpal Lem Dawod.
"Tentu, Dawod. Suatu saat kau akan mengerti dan tahu kemana perjuangan ini bermuara. Bukan kita saja yang akan mati di ujung Pena, namun Aceh dan semua isinya," ujar Apa Suman lagi. Tiba disebuah lereng bukit dengan hawa sejuk yang menggigil, kedua peutuha GAM tersebut berhenti untuk melaksanakan shalat Magrib. Di atas batu berukuran besar keduanya memipih lelah, daun Pisang rindang menjadi sajadah sebagai alas untuk Shalat. Bumi adalah rumah bagi mereka, rimba menjadi selimut dikala malam tiba, dan tanah sebagai alas tidur. Begitulah cara teuntra Nanggroe bertahan dalam perjuangan panjang ini.
"Kita harus melanjutkan perjalanan, Dawot. Perasaanku, di sini tidak memungkinkan untuk kita bermalam. Kita harus mencari induk sungai besar. Kala musuh mendekat kita bisa menyeberang ke arah selatan sana," kata Apa Suman. Lem Dawod menghela nafas, keduanya tak pernah bernegosiasi tentang taktik dan strategi.
Lambayung malam menyapa hilir, air sungai Peusangan mengalir mengikis bebatuan kecil. Apa Suman larut dalam keheningan malam yang sepi. Menatap gelap ke angkasa yang tinggi. Lamunannya semakin buyar, ia sedang memikul beban hidup yang seakan tak bertepi. Disisi kanan sana, Lem Dawod sedang merebahkan badannya di sebatang pohon Pinus tua, seketika ia bergegas melangkah menghapiri Apa Suman yang sedang duduk menyendiri di tepian sungai.
"Suman, apa yang engkau pikirkan? Semalaman aku milihatmu tak tidur, dan berlalu-lalang kesana kemari. Bergegaslah untuk tidur. Esok kita masih menempuh perjalanan yang jauh," ujar Lem Dawod. Ufuk timur mulai menyapa, Apa Suman belum juga mangkat dari tempat itu. Ia masih menatap angan, menumpang dagu dengan kedua tangannya.
"Sudahlah, lupakan saja itu. Masih banyak jalan menembus gunung," kata Lem Dawod lagi. Apa Suman masih membisu seperti membiarkan perkataan Lem Dawod berlalu dengan sendirinya.
"Engkau jangan lunglai seperti itu, tabahkan hatimu. Kuatkan tekad dan semangatmu, Suman. Aku yakin, Nyak Lamah bisa menjaga dirinya dan anak-anakmu," hela Lem Dawod seraya membujuk Apa Suman.
"Sudahlah, Dawod. Aku sedang tidak meratapi nasib keluargaku di rumah. Aku sedang berangan-angan dengan masa depanku, dan sedang ber-interaksi dengan langit dan alam. Kurasa, alam adalah sebenar-benarnya sahabat," hela Apa Suman.
"Lantas! Apakah selama ini engkau tak menganggapku sebagai sahabatmu, Suman?" tanya Lem Dawod dengan raut kecut.
"Bukan begitu maksudku, Dawod. Kemarilah, tarik nafasmu dan cobalah bersahaja dengan alam di malam yang sepi ini. Rasakan bagaimana kenyamanan dan rasa persaudaraan yang dihadirkan oleh alam kepadamu. Alam lebih jujur dan setia," kata Apa Suman lagi. Lem Dawod terdiam, lalu berjalan gontai ke arah Apa Suman.
Kala itu, tepat 15 Agustus 2015. Sepuluh tahun sudah damai GAM-RI. Di depan warung kopi berukuran 4×10 persegi meterbitu seorang lelaki paruh baya menyapa Apa Suman. Apa Suman menoleh dengan sorot mata yang tajam. Tetiba lamunannya hening, sepertinya ia sedang melukis rupa pria bertubuh tegap yang barusan menyapanya.
“Apa kabar, Apa? Apakah kau sehat?” tanya pria itu. Apa Suman masih menatap ke atas pria itu dan menjawab pertanyaan yang barusan dilayangkan kepadanya..
"Ini aku, Seuhak. yang dulu satu Camp sama Apa,” sambungnya. Sedang Apa Suman masih bungkam, terus mengingat-ingat pria yang menyapanya itu.
"Oh, iya. Kabar baik, Seuhak. Silakan duduk, ”tutur Apa Suman sambil mempersilakan bang Seuhak duduk.
"Darimana saja kau, Seuhak. Sudah puluhan tahun tak ada kabar. Kupikir kau sudah tak ingat lagi sama kami, sebab kami bukan GAM elit seperti kau," ujar Apa Suman dengan nada blas-blasannya.
“Aku baru pulang dari negeri seberang, Apa. Setelah Aceh damai, aku memilih merantau, dan tidak berkecimpung dalam lembaga apa pun, termasuk partai Politik," jelasnya singkat.
“kita Aceh sudah ditipu, Apa. MOU Helsinki tak ubahnya seperti Ikrar Lamteh, bahkan kedaulatan dan Martabat Aceh tak ada harganya di mata dunia," timpal bang Seuhak lagi.
“MOU nyoe, MOU jeh. Pajoh nyan. Cok, kon ka Meudelat,” tetiba Bang Seuhak berujar dengan nada seporadisnya seraya memecah hening lamunan Apa Suman dan Abu Li Pirak. Aku masih terpaku, mengelitik gawaiku, seakan semuanya mendukung itu. Sedang Abu Li terkekeh mendengar perkata bang Seuhak.
Bersambung...
Kinet BE

إرسال تعليق