Arakan awan tipis menyelimuti langit biru kelabu, juga matahari terik membakar tungku-tungku di dapur Jamboe Sira kampungku. Angin laut bertiup lembut, selembut perlakuan Negara kepada kami. saat itu Aceh seperti Negeri yang mati tak berpenghuni, sunyi dan sepi. Lalu-lalang manusia di sepanjang jalanan bisa dihitung jari. Orang-orang hanya berani beraktivitas di pagi dan siang hari. Tiada yang berani keluar kampung, walaupun hanya ke jiran sebelah. Sebab di Aceh kala itu berbagai aturan sudah diterapkan oleh Pemerintah pusat (Jakarta), termasuk aturan jam malam bagi warga.
Sembilan belas Mei 2003, tepat 17 tahun yang lalu, merupakan hari duka, pilu lara, dan nestapa dalam rentetan catatan sejarah panjang Aceh. dimana pada masa itu Presiden Indonesia yang dijabat oleh Megawati Soekarno Putri, mengesahkan Darurat Militer (DM) untuk Tanoh Rincong (Daerah Modal kemerdekaan Indonesia) yakni; Nanggroe Aceh Darussalam. Aku mengingat hal itu diumumkan bertepatan pada selasa dini hari. Pagi harinya berita suram tersebut berembus dari mulut ke mulut para penduduk kampung kami. Pesawat tempur (Sukhoi) hilir-mudik di langit Aceh. Kondisi Aceh begitu mencekam, pun tiada tanda-tanda cerah untuk kami kanak-kanak dalam menatap masa depan yang cermelang. Bahkan aliran listrik sudah semenjak perang padam-padam nyala, dan pas Darurat Militer diumumkan aliran listrik lumpuh total. Aceh dalam kegelapan, tangisan, bau amis darah, pembunuhan, dan kekerasan.
Tiang-tiang listrik dirubuhkan ke badan jalan, pepohonan dijadikan sabagai penganjal Truck Reo TNI yang melintas ke kampung-kampung. Rumah-rumah sekolah dan kantor-kantor pemerintahan dibakar oleh kelompok bersenjata yang tak dikenal. Api menyala, membara membakar sampai ke langit Aceh kala itu, bumi meraung, menjerit menanti portolongan, juga keadalian. Aku, dan jutaan masyarakat Aceh menjadi saksi pada peristiwa tersebut. Hingga bocah-bocah se-usiaku tak bisa lagi ke sokalah, mrngaji, dam bermain. Semuanya hancur lebur dan lumpuh total. Kami hanya bertahan hidup dengan angan-angan keudalatan dan embel-embel Kemerdekaan, diselingi pula dengan gema hikayat "Prang Sabi".
Saban hari, pasukan TNI menyisir kampung kami untuk mencari kelompok GAM. Namun, tak seorangpun dari anggota GAM tersebut yang mereka dapatkan. Tapi, mereka tidak akan pulang ke markas atau ke pos-posnya, jika tidak sempat membariskan lelaki dewasa di kampung kami di halaman Keudei Gampong untuk diperiksa, lalu dipukuli sampai membabi-buta tanpa rasa kemanusiaan. Aku kerap melihat kejadian-kejadian kekerasan tersebut dengan kasat mata. Menyaksikan bagaimana bangsaku ditindas tanpa ada rasa keadilan dan peradilan. Di Aceh, kami hanya dianggap layaknya Tikus got yang lapar oleh Negara.
Masa itu, tiada hari di Aceh tanpa suara rengah sepatu Lars para serdadu. Desingan peluru bagaikan irama tersendiri sebagai peganti sunyi, tangisan bedil pembunuhan saban detik bergema di seluruh pelosok Tanoh Rincong. Hanya tangisan yang kami punya bersama juntai-juntai do'a perempuan-perempuan yang sebahagian anaknya sudah syahid di medan laga. Kami hanya bisa berpasrah diri kepada keadaan, tanpa ada keadilan dan pertolongan. Bumi kami mati, suram mencekam bagai neraka.
Mei selalu membawaku dalam dekapan masalalu, pada sebuah tragedi suram konflik bersenjata di Aceh. Barangkali, menjadi anak yang lahir di bumi tumpah darah ini (Aceh) bukanlah hasrat dari semua insan dimasa itu. Namun, kehendak Tuhan mana yang sanggup kami ketepikan? Kami tak punya kuasa dan daya. Saat perang panjang, tiada manusia yang berhajat untuk lahir dan hidup di Bumoe Iskandar Muda tersebut, termasuk aku dan orang-orang lain, tentunya. Bahkan mereka yang berpangkat dan berjawatan, juga orang-orang kaya banyak pula yang memilih untuk keluar dari Aceh, hijrah ke tempat yang aman, tentunya keluar daerah atau luar Negeri.
Empat hari setelah diberlakukannya Darurat Militer, bertepatan pada Kamis sore, aku merasakan sendiri bagaimana wajah bumi Aceh kala itu. Semesta kusam, pucat pasi, langit memerah bencana, Aceh bagai negeri tak berperadaban. Di Desa Tanoh Anoe, sebuah kampung pedalaman di Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, aku mencatat beragam tragedi kekejaman perang, salah satunya Darurat Militer. Saat itu, umurku baru beranjak sekitar 13 tahun. Aku masih duduk di bangku kelas 6 (enam) Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Tanoh Anoe, harusnya aku sudah masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), lantaran waktu itu aku sempat tak naik kelas waktu masih kelas II MIN.
Selepas Ashar, kampung kami digempur oleh pasukan TNI, yang terdiri dari komando Kostrad dengan Tank Tempur Scorpion buatan Uni Soviet, bermarkas di Cot Bada, Peusangan (aku tidak tahu persis mereka dari Kompi atau Bataliyon mana) yang masuk ke kampung kami, dengan bala tentaranya siap siaga dan lengkap dengan peralatan perang mereka menyerbu dan membombardir Desa kami sebagitu membabi-butanya. Padahal, tiada satupun orang GAM yang mereka cari atau mereka dapatkan saat itu, walaupun pada akhirnya mereka mengatakan itu sebagai baku tembak atau kontak sejanta dengan kelompok GAM? Berangkali memang begitu siasat perang, punya beragam taktik, strategi, terutama propaganda. Aku sama sekali tak mengerti tentang politik dimasa itu. Yang kutahu, kami Aceh dibunuh dan diperangi atas dasar melawan Pemerintah pusat (Jakarta). Bahkan, tiada satupun masyarakat kampungku saat itu yang tidak membenci Serdadu dan Negara, termasuk bocah-bocah se-usiaku. Bagi masyarakat Aceh, ada nama khusus yang disematkan untuk TNI, yaitu si Pa'i.
Langit mulai jingga, hanya dihiasi arakan awan mendung yang tipis, matahati hendak tenggelam di barat. Deru dentuman senjata terus melengking pada hening kampung kami dan membuat suasana yang cerah menjadi kelam, tawa menjadi duka, dan ceria seakan berganti petaka. Di hamparan Tambak (Neuheun) ikan yang luas sampai ke ujung Kuala sana, aku, abangku, juga dua warga kampung kami sedang memancing ikan di tambak, seperti hari-hari biasanya. Sepulang sekolah aku menghabiskan waktu untuk memancing, dan sering mencari nafkah di tambak, sebagaimana leluhur kami mewarisi tambak kepada kami sebagai lumbung ekonomi dikemudian hari.
Ketika sedang asyik-asyiknya memancing, tetiba kami ditambaki dengan senjata mesin. Namun, tak seorangpun diantara kami yang terkena peluru timah. Saat senjata riuh menderu, kami langsung loncat ke tambak, pun bertiarap. Lalu kami berempat ditangkap oleh TNI, dibawa ke sudut jalan kampung, dimana Tank-tank tempur itu berdiri. Aku dan seorang temanku di-introgasi habis-habisan, diancam tembak dengan senjata laras panjang. Sedang abangku dan tetanggaku dipukuli bertubi-tubi oleh beberapa pasukan TNI, lalu tangannya diikat dengan tali. Aku yang melihat mereka disiksa tak mahu berdiam diri, mencoba menjelaskan kepada para TNI itu bahwa abangku dan tentanggaku bukan anggota GAM. mereka masyarakat sipil, tak terlibat dengan GAM.
"Jika mereka benar-benar GAM, kau kutembak, ya?" sahut seorang Prajurit TNI berkulit hitam, tatapannya beringas. Ia menatapku penuh amarah. Lalu menghampiriku, dan memasukkan moncong senjata ke mulutku.
"Jika mereka GAM, kau kutembak mati," ia mengulang-ulang ucapannya. Aku tetap pada prinsipku dan bersikeras bahwa mereka bukan GAM.
"iya. Jika mereka terbukti sebagai anggota GAM. Aku siap ditembak mati," kataku. Lalu si prajurit itu tersenyum, memegang pundakku.
"Kau tetap di sini saja, jangan kemana-mana. Kau yang bisa melepaskan mereka," katanya sambil berjalan meninggalkanku sendiri. Aku tak mengerti dengan maksud ucapan si tentara itu barusan.
Dengan raut beringas, para serdadu masih memukuli abangku dan tetanggaku. Mereka masih saja disiksa, ditendang, diinjak-injak, bahkan dipukul dengan gagang Senjata. Hari itu, nurani manusiawi dan HAM tak berlaku di Aceh. Aceh ibarat ladang latihan bagi para serdadu Negara, dan tempat untuk praktek kekerasaan terhadap warga sipil. Itu bukanlah hal yang langka terjadi di Aceh masa konflik dulu. Sampai kini aku masih mengingat wajah-wajah mereka, kebiadaban itu terekam dengan baik di-ingatan kami sebagai bocah sisa konflik ini. Rasa kemanusiaan tiada artinya di Aceh. Saat itu rakyat Aceh bagaikan Babi buruan di hutan tandus. Sebanarnya, pada masa itu apapun alasan yang kita berikan tetap dianggap tidak benar, pun aparat tak mahu mendengar alasan kita. Semua pemuda Aceh dituduh dan dicap bahagian dari anggota GAM.
Bahkan sudah dua jam lamanya kami ditangkap, deru letusan senjata masih berdentuman, buming membunyar tabir kelam petang itu. tembakan senjata mereka (TNI) semakin membabi-buta tanpa ada sasaran yang pasti. Mereka (TNI) menembak apa saja yang melintas di depan mata mereka, termasuk Jamboe-jamboe kecil milik petani tambak di kampung kami. Suara Tank tempur terus menderu, memercik telinga semua warga kampung sampai gema azan Magrib berkumandang. Tak lama kemudian para prajurit TNI tersebut meng-intruksikan agar semua masyarakat di Desa kami untuk berkumpul ke halaman Mesjid.
Sebelum kami diarahkan ke halaman Mesjid, aku dan beberapa Prajurit TNI mulai beradu mulut (cek-cok) lagi, karena aku tetap bersikeras bahwa salah satu warga Desa kami yang ditangkap dengan abangku barusan bukanlah bahagian daripada GAM. Dia hanya masyarakat sipil yang berkerja sebagai petani tambak. Pun, saya bersedia ditembak jika tetanggaku yang tangannya masih terikat itu terbukti sebagai anggota GAM. Sedang abangku sudah dilepaskan, mereka tak dipukuli lagi. Di-sinilah nilai tawar sebuah keberanian dan keadilan harus aku perlihatkan di hadapan tamu asing yang tak kami undang itu, walau sekalipun nyawaku sebagai taruhannya.
Setelah beberapa menit beradu mulut dengan TNI, aku tetap ngotot, meminta supaya tetanggaku segera dilepaskan. Di pojok sana, seorang prajurit TNI langsung berkata dengan nada sedikit keras. "Cepat kau panggil Pak Keuchik kemari, sebelum dia kami bawa ke Pos, " katanya.
"Baik, Om. Jawabku. Aku langsung bergegas menuju ke rumah pak Keuchik, yang jaraknya hanya sekitar 400 meter dari lokasi kejadian tersebut. Kehadiran Pak Keuchik guna menjadi saksi di hadapan pasukan Raider TNI tersebut, bahwa warganya yang ditangkap itu benar-benar tidak terlibat dengan GAM.
Setibanya di sana, Pak Keuchik kami langsung memberikan penjelasan kepada Pasukan Raider TNI, dan meyakinkan mereka bahwa benar warganya itu bukan anggota GAM. Klarifikasi dan penjelasan dari pak Keuchik tidak ditanggapi dengan kepala dingin oleh serdadu. Bahkan salah seorang dari pasukan serdadu tersebut menampar pak Keuchik kami. Ini sebuah penindasan, secara Psikologis mentalitas kami sebagai bangsa Aceh kala itu sangatlah terganggu, dan kami selalu dihantui dilema.
Sejurus itu Pasukan Korstrad TNI menyuruh bapak Keuchik untuk mengumpulkan seluruh warga Desa ke halaman Mesjid kampung kami, dan seorang warganya yang tadi hendak dibawa ke Pos kini sudah dilepaskan. Di halaman Mesjid, semua penduduk kampung kami sudah berkumpul. Para lelaki disuruh berbaris dan membuka baju, sedang yang perempuan dikumpulkan di pojok-pojok pagar. Nasib baik berpihak kepada kami. Kami tidak mati konyol ketika perang, hingga kini kami tumbuh menjadi dewasa, namun tiada hukum di Negara ini yang bisa mengadili pelaku kekerasan, pembunuhan, penindasan, pembantaian, dan pemerkosaan yang terjadi di Aceh sampai dengan hari ini. Bahkan, Negara sekalipun berpaling muka atas peristwa ini, dan terkesan lepas tangan. Namun, sebagai korban dan generasi sisa perang, kami tak akan melupakan sejarah kekajaman ini, sampai bila masa. Sebab, traumatisme dan dendam tidak akà n bisa dihapus dengan kata maaf, pun nyawa tak bisa diganti dengan apapun, termasuk dengan janji pada perdamaian di Helsinki, Agustus 2005 silam, juga kucuran Rupiah melalui Otonomi khusus (OTSUS).
Sebenarnya, bukan maksudku mengulit kisah lama dengan menulis cerita ini. Hanya saja sejarah itu wajib dikenang, supaya hal yang sama tidak akan terulang lagi kepada anak cucu kita dikemudian hari. Aku hanya sedang melawan lupa, pun merawat kembali ingatanku untuk melihat bagaimana Aceh hari ini dan tujuh belas tahun yang lalu, sebelum damai ini ada.
Penulis; Adam Zainal (Kinet BE) seorang pemuda yang lahir di tepi pantai sepi nan indah pedalaman Nanggroe Antah Berantah. Lahir di Bireuen Maret 1991, yang menyisakan waktu luang disela-sela kesibukannya sebagai nelayan dan buruh harian lepas untuk menulis.
Posting Komentar