Part-7

Jalanan amatlah berliuk, turunan dan tanjakan mengisi perjalanan kami. Plang nama asrama TNI kembali nampak di depan mata, kami tiba kembali dalam wilayah pemukiman tentara negara. Iklil melaju pelan. Namun, tak seorang bintara pun terlihat di sepanjang jalan. "Mungkin mereka sedang bersiap-siap menyambut maghrib dengan khatam," pikirku.


Waktu telah berlalu deras, serupa alir sungai Lamteuba yang jarak surut. Di timur langit Aceh, rembulan telah mendaki Seulawah Agam yang perkasa. Cahayanya menyemburat sampai se penjuru Banda. Sinarannya menyingsir belantara, hamparan sawah dan beranda-beranda rumah para penduduk. Uniknya, Lamteuba masih menyimpan kekayaan budaya, adat, serta peradabannya yang gemilang. 


"Hidup di sini seperti hidup di masa lampau. Asik, unik, pun tentunya penuh kedamaian dan ketentraman. Penduduknya amatlah ramah-ramah. Lamteuba begitu kaya dengan etikanya, belaiannya, bahkan kesantunannya yang barangkali diwarisi dari leluhurnya," batinku.


"Ra, Lamteuba begitu menyenangkan, damai dan teduh," tulisku. Malam telah mengitari isya, rembulan masih peluh merekah di mega. Gemintang berkedipan di langit Lamteuba, angin gunung meniup lembut ke persada. Aku menikmati malam terakhir pekan, tahun yang lalu-lalu, sebab esok petang harus segera ke Banda Aceh, persiapan menuju ke ranah Jawa.


"Di sana saja kau sampai tua. Ngapain ke Jawa?" balas Rania.


"Haha. Bukan begitu maksudku. Nanti suatu hari aku akan membawamu ke sini, supaya kamu tahu bagaimana Lamteuba".


"Iya. Aku tahu, Lamteuba memang sendu, tapi kalah sendu dari rinduku padamu". Lalu kami melanjutkan percakapan via telepon, aku menghubungi Rania untuk mendengar keluh kesahnya. Utamanya perihal kisahnya seharian tadi. Aku merasa ada sesuatu yang begitu penting yang ingin dicurahkannya kepadaku.


Aku, kata Rania. Ia memulai ceritanya. Seharian ini, aku bahagia sekali. Lumayan, banyak hal yang kudapatkan di sini. Kepulanganku kali ini tak sia-sia. Aku mahu berbagi kisah ini denganmu. Tanah airku begitu menggoda, hutan lebat dan asri. Angin gunung yang lembut, hawa belantara yang sejuk, tiada bandingnya. Belum lagi orang-orangnya yang begitu ramah. Tentu membuatku betah. 


Satu lagi, sayang, Rania menambahkan, aku juga telah mengumpulkan banyak bebunyian, kicau bayan, lengkik hutan, sasau angin dan riuh auman binatang malam. Ini sesuatu yang luar biasa menyenangkan. "Apa kau tak mau bertandang ke mari, menghabiskan akhir pekan denganku?"


Hello, "kau ke mana?" Rania mulai memanggilku, padahal sedari tadi aku khusyuk mendengar ceritanya. Namun, begitulah perempuan. 


"Kau tak mendengar ceritaku, aku sudah capek ngomong," ketusnya lagi.


"Iya, maaf. Dari tadi aku fokus mendengarmu bercerita".

"Bohong".


"Iya. Aku yang salah".

"hmm, baiklah, tak apa-apa. Jangan diulangi lagi ya". 


"Iya". Padahal, sedari tadi aku begitu setia mendengar cerita Rania, namun ia mengira aku hanya berpura-pura. Kadung, yang membuatku jengkel padanya adalah soalan-soalan remeh temeh seperti ini. Rania, perempuan penuh prasangka yang tak mahu ditipu. Hipotesanya begitu kuat, ia tak suka disepelekan. 


"Apakah kau masih mencintaiku?" tanyaku kepada Rania.


"Kamu apa-apaan sih. Menurutmu bagaimana?" Rania bertanya balik padaku. Sebenarnya, tak etis pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Namun, ya demikian. Tak ada hal yang mesti dipersoalkan, namanya juga perempuan.


"Aku mulai ragu akan cintamu," kataku lagi. 

"Karena persoalan tadi?" tukas Rania.


"Iya. Cinta adalah kepercayaan, sementara kau telah menuduhku berbohong. Aku telah khatam mendengar semua ceritamu barusan. Tapi, kau malah tak menghargai itu," celetukku. Rania menghela nafas panjang, ia tak menjawab perkataanku. 


"Aku minta maaf, aku salah. Kamu sih, diam doang," ujarnya.


"Baik. Aku cuma pendengar, bukan pendebat kusir. Kau memintaku untuk menjadi pendengar, bukan untuk menjadi moderator". 


"Sudahlah. Bahas yang lain saja". Mungkin benar dengan idiom-idiom atau pameo-pameo yang selama ini beredar, bahwa "hamba Tuhan yang tak pernah bersalah adalah perempuan". Rania adalah salah satu dari jutaan perempuan di dunia ini yang merasa tak pernah bersalah. 


"Baiklah, tapi masalah yang tadi belum usai kita bicarakan. Apakah kau masih merasa aku tak mendengar ceritamu?" tanyaku—aku mencoba menekan Rania, kali ini tak kubiarkan dia untuk beralasan. Ia tahu betul bagaimana watakku, aku tak suka suatu pembahasan dialihkan ke pembahasan yang lain. Mesti khatam dan tuntas, barulah bisa membuka percakapan baru. Begitulah aku, Rania tahu betul akan ini. 


"Ya sudah, aku yang salah, sudah mencurigaimu yang tidak-tidak," timpalnya. 


"Aku tak suka orang yang merasa bersalah". 

"Kau ingin bagaimana sih, selalu bikin aku kesal".

"Kesal juga bagian dari kerinduan. Malah aku sengaja".


Di seberang yang jauh, suara Rania hilang dengan tiba-tiba. Mungkin koneksi jaringan menjadi kendala. Perasaanku, sinyal di Lamteuba tak begitu buruk, tapi kenapa sambungan telepon kami putus mendadak. Atau mungkin karena kami berada pada koridor yang lumayan jarak? Entahlah, akhir-akhir ini koneksi memang sedang lambat-lambatnya.


Lima menit berlalu, barulah Rania kembali menghubungiku via pesan; "bateraiku habis. Haha," tulisnya. "Sungguhlah aku telah berdosa pada jasa penyedia koneksi seluler. Aku kira jaringannya yang bermasalah, atau pula Lamteuba yang padat rayap di selubung belantara". 


"Kau memang kerap menduga-duga". 

"Itu hanya menurutmu saja".

"Memang iya begitu".

"Baiklah. Terserah kau saja". 


Malam masih panjang, desir angin menggigil tubuhku. Lamteuba begitu sejuk, selapis selimut tak cukup untuk menghangatkan badanku yang rada hari rada beringsut. Belum lagi hawa Seulawah Agam yang melembabkan telapak kaki dan tanganku. Sungguh tiada penyangga untuk itu. Di seberang, Rania kaku, ia tak melanjutkan lagi percakapan denganku—aku kembali meneleponnya.


"Kamu mahu tidur pukul berapa?" tanyaku. 

"Belum tahu, aku sedang menyelesaikan pekerjaanku sedikit lagi," jawabnya.


"Baiklah. Lanjut saja dulu".

"Temani aku".

"Hmm. Baik, dengan senang hati".

"Terkait perihal tadi, aku minta maaf. Aku yang salah".

"Sudah lupakan saja. Aku telah menerimamu bagaimanapun wujudnya".


Di langit Lamteuba, rembulan masih peluh bersinar. Siul binatang malam menemani lamunku yang memang telah didera kesepian. Bagiku, jauh dari Rania serupa wujud penderitaan. Aku terlampau khawatir dengan keadaan kekasihku di seberang. Kecemasanku, tentunya punya alasan; aku tentu cemas karena takut kehilangan. 

Post a Comment