Part 6
Siang berlalu mengitari sore hari, kabut bertambah lebat menyelimuti Lamteuba, beringsut ke batang-batang pohon salam dan alang-alang sepanjang punggung bukit melingkupi Krueng Raya. Petang rembang, langit panca warna, sekejap lagi di atas bukit Leungah, senja akan terurai menyibak rerumputan. Sungguh lah Lamteuba begitu mengesankan. Sedang aku masih menggembala kesunyian. Di seberang yang jauh, Rania tak kunjung membalas pesanku.
—di beranda rumah, aku hanya mengutip waktu seraya menyaksikan kanak-kanak yang sedang asyik main layang-layang di hamparan sawah yang membentang. Musim panen, telah tiba beberapa hari yang lalu. "Di sini, setiap musim panen, ada saja aktivitas anak-anak, tak hanya main layangan semata," kata Iklil kepadaku.
Jarum jam di dinding rumah tepat pada pukul 17.00 wib. Iklil mengajakku ke Leungah, ke bukit tandus, dihimpit laut Banda dan hulu-hilir Krueng Raya, tempat biasanya muda-midi Lamteuba menyeburat senja, atau sekadar mendengar dengung laut dan riuh gelora. Aku tak menolak ajakan Iklil, lalu dia memboncengku.
Kami melaju di halanan Lamteuba—-Leungah yang beraspal, kiri-kanan hanya dipenuhi semak belukar, melewati jembatan besi yang mulai karatan. Iklil melajukan Rx-kingnya dalam kecepatan di atas rata-rata. Sementara aku khidmat membelai rimba, alam sejuk yang kini mengitari lamunku. Sepanjang perjalanan, kami tak bertemu dengan siapapun, selain melewati asrama TNI dan beberapa bintara yang berwajah ramah di pos penjagaan. "Ketika masih konflik, tak ada orang yang berani melintas jalan ini, bang," tutur Iklil.
Dahulu, kata Iklil, tentara yang tinggal di lintasan Lamteuba—Leungah rata-rata berwajah sangar, tak seramah hari itu. Kini TNI yang tinggal di sini sudah terlihat ramah. Mungkin dilema masa lalu tak lagi menghantui mereka. Atau mungkin, katanya lagi, tentara yang dulu tinggal di sini telah dipindah-tugaskan, pun mungkin telah pensiun dari dunia militer. Di belakang, aku hanya mengangguk, sepatah pun tak melontarkan pertanyaan kepada adikku itu.
"Hmm". Aku hanya menghela nafas, pertanda khidmat mendengar celoteh Iklil yang begitu serius merurai cerita zaman perang Aceh kepadaku. Aku dan Iklil memanglah dapat dikatakan sebagai bocah-bocah sisa konflik yang selamat dari kontak tembak antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI), selamat dari mara dan bala, dari fitnah dan syak wasangka; dari kepentingan politik para pialang negara.
Sebab perang panjang itulah, kami generasi sekarang dapat pula dikatakan sebagai generasi tertinggal; begitu ber-kemunduran di segi apapun, baik pengetahuan, politik, sosial, teknologi, budaya, seni, musik, ekonomi, propaganda, perang dan sebagainya. Kemunduran ini pula yang membuat kami menjadi "tabu" bahakan "kaku" bila melihat sesuatu yang baru (padahal tidak baru, hanya saja di tanah perang sesuatu pengajaran tak akan maksimal dipelopori, karena selalu berbenturan dengan tujuan kelompok yang sedang bertikai).
Salah satunya musik. Selama perang Aceh, pentas seni dan hiburan hilang dengan sendirinya, para seniman lokal banyak hijrah ke luar daerah, sebagian berhenti berkarya, sebagian lagi aktif berkesenian dalam bentuk pergerakan, secara diam-diam ada yang bergabung dengan para pejuang nanggroe, sementara sebagian musisi memilih melawan kekerasan, penindasan, kekejaman dan pembunuhan dengan lagu-lagu yang mereka cipta; bergabung di panggung-panggung dakwah kebangsaan GAM di seluruh pelosok Aceh.
Namun begitu, bagi kami, musik yang paling indah ketika Aceh bergejolak adalah deru bedil, lengkik Ak-47 tentara hutan, bunyi S1 dan M16 TNI yang saban waktu di senandungkan. Sementara syair paling sedih ialah tangis kanak-kanak yang ayahnya diculik, hilang, serta mati dalam perang. Sementara rapai terganti dengan khotbah-khotbah keAcehan, atau pula pekik histeris perempuan-perempuan yang suaminya telah dihilangkan.
"Saat Aceh perang kau sudah sebesar mana?" tanyaku pada Iklil.
"Aku sudah kelas III SD, bang. Kalau tak salah".
"Sudah kenal GAM dan TNI?"
"Sudah bang, dulu orang GAM ramai di rumah kita".
"Hmm. Sekarang mereka ke mana?"
Sontak, Iklil tertawa dengan pertanyaanku barusan. Dulu katanya, orang GAM selalu ramai di rumahnya—pasca Aceh damai pada Agustus 2005 silam, sampai dengan penghujung 2019, tak seorangpun dari bintara rimba yang dahulu pernah tinggal di rumahnya nampak batang hidungnya, atau sekadar untuk silaturahmi saja jarang. "Mungkin" benar, para pejuang nanggroe hari ini telah lupa jalan pulang.
—bukit Leungah yang tandas, senja kala yang rembang, langit petang yang bersih, melenakan hariku yang seakan enggan di lingkup malam. Kami baru saja tiba di tubir bukit yang luas, hampa dan gersang. Tak ada penghidupan, selain alang-alang, juga beberapa belukar liar, juga satu dua pohan jomblang. Seperti padang sahara yang cerah, tumpah dalam imajiku.
"Ini indah sekali," kataku pada Iklil. Kami baru saja tiba di tempat tujuan. Disambut deru pantai, belaian buih dan senja langit yang rembang. Suasana yang tak setiap hari didapatkan.
"Ini sungguh menggoda, sekayak Parangtritis, di Yogyakarta, ataupun hampir mirip-miripnya dengan pantai eksotis Kalianda," kataku lagi. Iklil tak menyahuti perkataanku, ia beranjak agak sedikit jauh dari biram jalan, mengayun kaki ke unggak bukit.
Di wallpaper gawaiku, jarum jam tepat pada pukul 18.20 wib. Sekejap lagi magrib akan tiba. Aku memanggil Iklil dari kisaran jarak 25-30 meter jauhnya. Ia melangkah ke arahku. Lalu kami menuju jalan pulang. Kali ini, arah kami Ringah—Lamteuba, masih melintasi jalan yang sama. Tentunya kembali melewati asrama TNI yang barusan telah kami lewati.
"Sepertinya, kita akan menerobos kabut lebat, bang," ujar Iklil. Aku hanya mengangguk. Lalu ia fokus melajukan sepeda motor. Kabut tebal telah inkrah menutupi sepanjang badan jalan. Ia hanya mengandalkan lampu motor yang terlihat begitu muram. Nyala, tetapi tak kuasa menembus pekat kabut yang hendak menyelimuti malam.
Langit masih panca warna, matahari telah dipeluk rahim Krueng Raya. Senja kala tambah merekah memancar sampai ke puncak Seulawah Agam, kabut beringsut menjalar ke kaki rimba, menutupi lintasan Leungah—Lamteuba, jalan pulang kami ke persada. Di belakang Iklil—aku masih menikmati panorama, sejuk hutan yang tiada bandingannya. Asri dan alami sekali.
"Di sini sudah malam," tetiba satu pesan masuk dari Rania. Aku membuka pola, dan langsung membalas pesan kekasihku di seberang.
"Di sini hendak masuk waktu magrib," tulisku.
"Baiklah, nanti aku hubungi lagi. Ada yang mau aku ceritakan," balasnya.
Penulis: Adam Zainal, Novelis dan Jurnalis, tinggal di Bireuen

إرسال تعليق