Sekali waktu di tahun yang lalu-lalu sepulangnya aku dari Bandar Kuta. Aku bertemu kembali dengan Apa Suman Cs, Abu Li Ddk, Lem Dawod dan bang Seuhak (sapaan lampau Haji Seuhak) hanya sekadar untuk bercakap-cakap, di samping melepas kerinduan yang amat memuncak akhir-akhir  ini setelah kami sudah amatlah lama tak bersua rupa. Di malam yang lebam basah sisa guyuran hujan petang itu, kami berkesempatan untuk meramu kembali, menuangkan kopi, memantik korek api, membilinting rukok on (rokok daun rumbia), menghisap kretek, juga menyajikan haba-haba broh–putoh warisan bineh pasie kami.


Malam itu, pembahasan kami terpaut pada "Chenkeulunyik", sebutan orang Peuseungan dulu kepada gelanggang seni, keyboard, konser dan hal ihwal yang berkaitan dengan dunia musik (seni tarik suara) yang akhir-akhir ini begitu "tabu" dan "kaku" dalam pandangan masyarakat Aceh. Chenkeulunyik, dapat menjadi saksi peristiwa, bahwa paruh windu lalu, konser musik bukanlah suatu yang asing bagi kehidupan masyarakat Peusangan yang kosmopolit.


"Hampir setiap minggu ada piasan chenkeulunyik di Keude Matang, biduannya didatangkan dari Sumatera Utara, ada juga orang tempatan," kata Apa Suman.


"Orang kita tak paham mana bencana ekologis, mana bencana alam dan mana sebenarnya kutukan Tuhan," timpal Lem Dawod.


"Pokoknya semua yang berbau dengan piasan musik, konser, keyboard dan semacamnya tetap haram," tekan Abu Li. Di sebelahnya bang Seuhak sepakat dengan pernyataan tetua kampung kami itu.


"Jangan sok suci, dulu saat konser Dina Mariana di Keude Matang, kau menjadi salah satu calo karcis," tutur Apa Suman. Aku hanya tertawa, kemudian Lem Dawod juga sama, ikut tertawa seraya menunjuk telunjuk ke arah Abu Li.


Mendengar ucapan Apa Suman, Abu Li tetap masih kukuh pada narasinya. Menurutnya, semua bala bencana yang menimpa Aceh belakangan ini mutlak bersebab konser musik yang masyhur diselenggarakan di beberapa kabupaten/kota di Aceh. Ia menyimpulkan, semua yang dilarang oleh agama dan hukum sosial adalah pembawa bencana. Titik. Tiada neko-neko atau kias-kias. Intinya, seni tarik suara haram di tanah serambi ini.


Pemikiran semponyangann Abu Li, tak serta merta disambut baik oleh Apa Suman dan Lem Dawod, bagi dua tetua itu, neraca pikiran Abu Li mesti diluruskan ke arah yang benar, ke hilir yang bijak, ke pandangan yang luas dan kritis, jangan sampai bertumpu pada sesuatu yang paradoks serta terkungkung dalam ikatan fanatisme. Jadi, kata Apa Suman, tak perlu lah kita bersikukuh pada pikiran yang sempit itu. Perihal musik dalam islam; dalam kehidupan masyarakat kita telah inkrah disepakati, dikaji serta dibicarakan oleh orang tua kita terdahulu, termasuk didalamnya para alim ulama, alim ilmu, bahkan para cendikiawan ternama.


Dalam rentang sejarah, Apa Suman menjelaskan, kisaran 1960-an sampai 1980-an. Di Aceh, dunia hiburan bukanlah sesuatu yang tabu dan asing. Konser musik terlaksanakan hampir di semua kota, tetapi tiada bala bencana yang terjadi. Tak ada perselisihan dan dawa bunta antara para tokoh. Masyarakat amat selektif dengan apa yang mereka butuhkan. Tentu akan menolak sesuatu hal yang sifatnya bertentangan dengan norma adat, budaya serta agama.


"Apakah era itu di Aceh tak ada ulama-ulama yang kharismatik dan hebat-hebat?" Pertanyaan itu dilemparkan Apa Suman secara umum, tak ditujukan kepada Abu Li semata. Pertanyaan itu berlaju kencang tanpa hambatan, tiada satupun diantara kami yang berani memberikan jawaban, atau sedikit berusaha menjegal. Asbabnya, memang benar adanya, Aceh tempo dulu jauh lebih maju dari Aceh hari ini. 


Orang-orang Aceh dahulu, tambah Apa Suman telah hidup dalam konsep yang modernis, maju pemikirannya, kritis dalam sudut pandang, idealis dalam bersikap, terlebih cerdik juga selektif dalam memilih serta menilai sesuatu hal. "Cara berpikir orang Aceh tempoe lalu lebih maju dari cara kita menelaah hari ini". 


Kendati demikian, semua fenomena sosial kita hari ini memiliki afiliasi dengan masa lalu, baik dari faktor isme berbangsa, sedarah, adat budaya dan agama yang luhur. Maka, dalam hal ini, sudi kiranya kita dapat menerima perbedaan sudut pandang sebagai suatu khazanah intelektual yang kaya serta beragam.


Namun, Apa Suman melanjutkan, di wilayah yang masyarakatnya berbudaya dan berperadaban dengan konsep yang amat agamis, seni musik acap dipandang sebagai pembawa bencana, mengundang maksiat, juga sebagai hal yang tabu dan berkubang dosa. Tetapi, dalam kacamata agama, ini mungkin benar kiasnya. "Konser tak lepas dari kemaksiatan", sebagai makhluk berakal kita jangan hanya memandang sesuatu hal dalam pola pandang searah. Tiadalah elok melihat suatu perkara hanya bertumpu pada mudharat yang diciptakan oleh dunia seni tarik suara itu sendiri, sebab masih banyak kemaksiatan lain yang sengaja dirancang serta dibungkus dalam selubung suci agama.


"Kita harus bersikap adil untuk melihat semua hal yang mengundang dan mengandung maksiat di dalamnya," tuturnya.


Di Aceh misalnya, provinsi yang hampir 99.9% masyarakatnya beragama islam, taat beribadah dan selalu menegakan amar ma'ruf–nahi munkar, kesenian memang kerap dipandang sebagai pembawa bala. Seni yang dimaksud sebagai pengundang maksiat itu tak lain adalah konser musik. Padahal, secara kasat maupun secara harfiah, kemaksiatan di Aceh berlaku di mana-mana; di dunia pendidikan, kesehatan, pemerintahan mulai dari atas sampai ke kampung-kampung, bahkani dunia niaga, di kehidupan sosial, di lumbung pertanian dan perikanan, di sektor pembangunan sarana prasarana, di lembaga hibah, lembaga amil zakat dan wadah-wadah lagi yang cocok menjadi tempat menumpuk kenikmatan serta kekayaan.


Bagi masyarakat Aceh yang amar–ma'ruf nahi mungkar, sesuatu yang berbau dengan konser merupakan suatu ritual terlarang; "haram dan penuh dosa", bila pun, kebanyakan orang di sana merupakan pecinta lagu-lagu India, slow rock Malaysia, serta pop Korea dengan goyangannya yang aduhai. 


Amatalah beruntungnya aku ketika bertemu dengan para peutuha itu. Selain di jamu dan disuguhkan kopi gratis, pula aku mendapatkan banyak ilmu, nasihat, juga cerita-cerita mengenai Aceh tempo dulu. "Di awal Soeharto menjabat sebagai kepala Negara di republik ini,  peradaban Aceh sungguh bukanlah seperti sekarang, amatlah berat hati, dan terlalu pilu bila dikisahkan, " kata Lem Dawod malam itu.


Sebagai seorang penanya yang khusyuk, pun sedikit satire, aku melayangkan beberapa pertanyaan kepada para peutuha itu. Salah satu pertanyaannya adalah, "siapa lebih nakal antara generasi muda hari ini, ketimbang masa muda orang-orang terdahulu, singkatnya masa muda para Abu-Abu ini?" tanyaku. 


"Anak muda sekarang amatlah nakal, sebahagian teramat bejat. Mereka tidak mengenali jati diri, budi luhur dan budaya kehidupannya yang begitu megah serta telah diwariskan oleh nenek moyangnya," timpa Abu Li. 


"Masa kecil kami dulu, tidak senakal anak-anak sekarang, nyak Dam," sambungnya.


"Benar. Kami dulu tidak dilalaikan oleh perkembangan dunia. Tak pula terlenakan oleh piasan-piasan dunia seperti hari ini," tambah bang Seuhak. Aku mengutip semua pemaparan para peutuha itu dengan khidmat dan tuntas. Namun, di sebelah kananku Apa Suman masih terpaku dengan sehelai surat kabar di tangannya. Sepertinya lelaki renta itu tak sedikitpun tertarik dengan pertanyaanku barusan. 


"Apakah orang Aceh dulu begitu beradab dan taat-taat?" tanyaku lagi.


"Tentu. Nenek moyang kita dulu adalah orang-orang yang taat dan beradab. Mereka adalah manusia yang berhati mulia. Jauh sekali berbeda dengan perangai anak muda kita sekarang. Ibarat langit dan Bumi," tukas Abu Li.


"Itu di abad ke berapa, Abu?" lanjutku bertanya.

"Antara abad 17-18 Masehi," jawabnya. 

"Berarti Abu belum lahir di abad itu," tepisku.


"Ya, memang belum. Tapi itulah sejarah kehebatan leluhur kita, nyak Dam," lanjutnya. Pembahasan kami kali ini sungguhlah begitu hangat. Para peutuha itu amat antusias dalam memaparkan sejarah romantisme masa lalu kepadaku.


"Aku ulangi pertanyaan pertama, ya, Abu?" 

"Baik, nyak Dam?" 


Aku ulangi pertanyaannya, ya Abu. "Siapa lebih nakal antara generasi muda hari ini, ketimbang masa muda orang-orang terdahulu, singkatnya masa muda para Abu-Abu ini?" tanyaku. Apa Suman masih saja membisu kaku, serupa batu besar di jurang hutan. Sementara Lem Dawod dan bang Seuhak masih menyimak percakapanku dengan Abu Li. Hanyalah orang tua berkerut itu yang terlihat begitu serius menanggapi pertanyaan-pertanyaan dariku yang barangkali menarik baginya.


"Semasa muda kami dulu, kami tidak sebejat dan salah kaprah seperti anak-anak sekarang, nyak Dam?" lanjut Abu Li menjawab pertanyaanku. 


"Ketika seusia kalian, kami dulu begitu patuh dan menghormati hukum, norma, adat dan agama. Kami sangat menghormati orang yang lebih tua, pun tak pernah melakukan hal-hal tercela, juga perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama," sambungnya. 


"Apakah jaman muda kalian dulu tidak ada lapak judi, rumah bordil, orang mabuk, tukang togel, penjual minuman keras, pelaku sabung ayam, dan ritual saweran kepada para biduan luar kota, Abu?" sambungku bertanya. Pertanyaanku kali ini nampak sedikit tak sopan. Namun, bukankah sejarah tidak muluk-muluk serta hanya menampilkan sisi-sisi baiknya saja?


Hal itulah yang mendorongku untuk bertemu orang-orang di manapun, baik Sudra, Paria, Ningrat, ataupun Raja demi mendapatkan informasi-informasi sejarah dalam sudut pandang yang berbeda, guna menyajikannya kembali ke hadapan publik. Walaupun, sedari tadi Abu Li tidak menanggapi pertanyaan yang sedikit sporadis tersebut, tetapi aku amatlah berharap pertanyaan itu tidak berlalu dengan sendirinya. 


Beberapa menit hening, Abu Li, Lem Dawod, dan bang Seuhak seolah tak peduli lagi dengan pertanyaanku barusan. Sedangkan Apa Suman, memang sudah berjam-jam yang lalu tak ikut menanggapi sepatah pun pembicaraan kami. Lelaki senja itu hanya menoleh, pun sesekali tersenyum gesit ke atasku. Aku dapat menduga, dari sudut matanya yang kacau, juga raut wajahnya yang masai buram, Apa Suman akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang sedikit menohok itu. Tapi, entah kapan dia mau berbicara aku tak tahu? Entahlah, memang sikapnya tak menentu.


"Begini, nyak Dam. Jika kita membahas masa muda kami, amatlah pilu dan tak elok dikisahkan. Kami lahir di atas dan dibawah tahun 60-an. Dimana republik ini baru menata peradaban baru umat manusia. Bila kita berkaca pada 2 atau 10 abad yang lalu, memang benar seperti yang dijelaskan Abu Li kepadamu. Nenek moyang kita memang orang-orang hebat dan megah. Pula, dunia mengakui itu," pungkas Lem Dawod setelah beberapa saat hening.


"Namun, yang kau tanyakan adalah ketika masa muda kami, bukan?" sambungnya. 


"Benar, Cut Lem?" jawabku. 


"Jika kau ingin mengetahui cara sabung Ayam yang bagus, maka tanyalah sama Abu Li. Dia ahlinya. Pun, bila kau ingin tahu tentang agen buntut (togel) semasa muda kami, juga tanyakanlah kepadanya. Dia juga ahlinya. Dan, jika kau ingin tahu tentang minuman keras, rumah bordil, juga chenkeulunyik semasa muda kami, juga tanyakanlah kepadanya. Dia juga ahlinya," jelas Lem Dawod. 


"Apa yang kau katakan, Dawod? Jangan ceritakan kisah kelam masa lalu kepada anak muda seusia nyak Dam. Takutnya nanti dia berpikir macam-macam," potong Abu Li. Aku begitu tertarik dan penasaran dengan penjelasan Lem Dawod. Bagiku, ini adalah sisi kelam sejarah Aceh pasca kemerdekaan, yang barang tentu tak diketahui oleh banyak orang. Pula, terus disembunyikan dengan rapat-rapat supaya generasi hari ini larut dalam euforia atas slogan teuleubeh dan megah- nya sejarah Aceh dahulu. 


Malam masih sepi, derap langkah seakan telah berhenti. Selepas hujan mengguyur Gampong Lumpoe di petang hari, aktivitas para penduduk di sagi Teulok Jangeun mulai menuai jeda. Malam itu, keude kupi bang Matnu juga terlihat sedikit sunyi, tak seperti malam biasanya. Di sisiku, Apa Suman mulai meletakkan kembali surat kabar yang mungkin telah usai dibacanya. 


"Cheunkeulunyik itu apa, Cut Lem?" aku masih mengulang kembali pertanyaan terkait Chenkeulunyik berharap mendapat jawaban yang lebih logis dan detail.


"Cheunkeulungi merupakan sebutan orang kita di Bantaran Krueng Peusangan untuk acara Konser, Dangdut, Keyboard,  dan ritual saweran untuk para biduan yang didatangkan dari luar Daerah nyak Dam. Dulu, Aceh ini amatlah bebas, hampir sama dengan kota-kota besar di luar sana," tukas Apa Suman setelah berjam-jam membisu kaku. 


Ia melanjutkan, bila ingin menakar kenakalan dan kebiadaban generasi sekarang dengan generasi kami dahulu. Maka, kalian kalah jauh. Tak beradabnya kalian hari ini tak pernah main judi di depan umum, tak pernah goyang-goyang dan memeluk biduan di depan sanak famili, di depan ibu dan bapakmu. Nakalnya kalian ada tempatnya, tak sama dengan kenalan suatu kami muda dulu. Belum lagi mabuk-mabukan dan main sabung Ayam, yang kadang kala arenanya di dekat Meunasah.


"Ada benarnya yang dikatakan Lem Dawod. Bila kau ingin mengetahui semua itu, amatlah tepat sekali. Kau tidak salah orang. Abu Li adalah ahlinya," tukasnya.


Bila pun hari ini, kata Apa Suman lagi, dia sudah insaf dan sedang menuju ke jalan taubat. Namun, kenakalannya dulu jika dibandingkan dengan kalian  hari ini amatlah jauh. Bandingannya seratus banding satu. Rasa penasaranku mulai bertambah ketika Apa Suman sudah ikut serta menanggapi beberapa pertanyaan yang telah kulayangkan kepada mereka. 


Amatlah sulit, memang. Jika, harus menjelaskan atau menceritakan sejarah yang sebenarnya. Sejarah tidak hanya berbicara tentang sisi baiknya saja, semisal romantisme kegagahan dan kemegahan pendahulu, ketaatan, kecerdikan, peradaban budaya yang gemilang, kejayaan yang maha hebat, bahkan tentang nostalgia para Indatu dengan Jargon Teuleubeh dan Megah perkasanya. Atau pula perihal yang menyangkut dengan era keemasan semata.


"Di Nanggroe yang masyarakatnya memupuk hidup di bawah rindangnya batang mitologi dan takhayul itu. Sejarah layaknya Maop (salah satu nama untuk makhluk gaib dalam kehidupan rakyat Aceh). Maka, ketika sejarah telah dicampur—adukan dengan mitos,  kebenaran akan keliru," jelasnya.



Sebagai catatan; tulisan ini merupakan cerita dari mulut ke mulut, dimana tokohnya difiksikan.


Penulis; Adam Zainal, jurnalis lepas dan novelis, tinggal di Bireuen, Aceh





Post a Comment