Tiada yang gamang malam tadi. Suasana tetaplah sepi sunyi seperti malam biasanya di kampung kami. Ramai-ramai orang hanya terlihat berlalu-lalang diwaktu hari pekan tiba, atau--pula ketika di kampung ada acara keagamaan, acara adat, dan ihwal serupanya. Kampung kami amatlah jauh dari kota, atau bandar tempat berdirinya gedung-gedung pencakar langit, istana raja, pula kantor-kantor keresidenan tempat para ningrat, brahma, nujum, juga haria mengeja keberlangsungan hidup kaum sudra.
Adalah mustahil mengkritik atau mengutuk raja dengan liur sisa gunyahan sirih dan mulut bau sisa seduhan kopi tubruk yang bukan dari biji arabica. "Tamsilnya amat tak mungkin seekor Cacing mengatur seekor Naga", atau pula seorang anak menegur bapaknya. Dikata anak itu durhaka! Kias-kias itu masih hidup dan tumbuh dalam penuturan serta komunikasi kami di desa. Orang-orang tua di kampung kami memang selalu berbicara dengan gaya komunikasi sedemikian rupa. Penuh kias, tamsilan, atau juga disebut perumpamaan.
Walaupun kami asing dan hidup jauh dari kota, namun banyak diantara kami yang paham dan peka terhadap roda kehidupan kaum istana. Hampir saban hari kecuali hari minggu, surat kabar masuk ke desa-desa, termasuk kampung kami. Surat kabar adalah wujud kegembiraan yang merupakan jendela kecerdasaan, di samping manjadi satu-satunya jendela informasi bagi segenap manusia. Bahkan surat kabar merupakan nadi utama untuk kami di kampung dalam menggali informasi seputar kehidupan para raja, seniman, atlit, artis, bahkan tokoh-tokoh publik lainnya, termasuk bani "boh reutoh" yang suka menghamba jiwa pada raja untuk mendapatkan saweran tahunan, atau lebih islamnya hibah musiman sebagai hak ulayat atas penyembahan mereka kepada paduka raja. Imbalan dari penyembahan, juga sujud sembah itu adalah "bungkusan harta Karun, yang bukan miliknya Karun, tapi milik segenap bangsa, hakikatnya milik rakyat jelata."
Berkat surat kabar itulah kami melihat tindak-tanduk paduka raja dan jajaran istana yang amatlah lena dan sentoloyo, juga sarat kepentingan. Bahkan tentang isu yang sedang merebak di Negeri Pasang Geurahang ini.
Di sunyi asing inilah, kadang aku suka berkumpul dengan para peutuha di kampung kami, hanya sekadar bercakap-cakap. Seputar apa saja, tak lepas dari soalan raja yang semua keberlangsungan hidup jelata berada di tangannya. Semua peraturan, kebijakan, dan peruntukan, sahnya tetap di tangan dan mulut seorang raja. Jadi, bukan mustahil bila keberpihakan adalah wujud dari kekuasaan? Semua yang dilakukan oleh seorang raja adalah kewajaran bagi bani-bani penyembahnya, termasuk bani boh reutoh yang manufik, fasik, dan tak bermartabat. Bani "boh reutoh" ini adalah spesies menengah ke atas, di antaranya akan menjadi calon pemimpin, wakil Parlemen, Ningrat, Brahma, Haria, Wedana, Demang, atau yang paling rendah menjadi Lamiet Istana yang selalu mengabdi sebagai sapu handuk telapak sepatu raja di masa hadapan.
Setiba di warung kopi kampung, aku langsung bersalaman dengan para peutuha yang sedang menyeruput kopi di sudut warung, seraya berbincang-bincang seputar kondisi kini negeri kami yang sedang dilanda pandemi, bencana dan cobaan. Bahkan, hal yang paling dasar sebagai penyedap kopi orang kampung adalah menyinggung soalan politik, baik tingkat sagi sampai ke tingkat keresidenan.
Di kehidupan berbangsa dan bernegara, politik merupakan malaikat bagi semua kebutuhan hidup manusia, dan Tuhannya adalah politisi. Maka, apapun yang sedang berlaku atau sedang mendera suatu daerah tak lepas dari polemik dan kebijakan politik. Misalnya, "sablon eumpang breuh", refocuosing anggaran, saweran dana hibah, kisruh Pokir, atau sekelas gertak sambal seperti "hak angket, dan interpelasi" kaum parlemen kepada paduka raja di bulan yang lalu-lalu.
"Kenanglah semua peristiwa yang terjadi kemarin hari, tadi petang dan malam ini. Semua itu akan menjadi sejarah," kata Apa Suman. Aku baru saja membantal di kursi kayu, duduk melingkari meja kopi bersama para peutuha itu. Dan, langsung disambut dengan pernyataan Apa Suman yang barangkali dijadikan sebagai wejangan penyambutan untukku yang baru pulang dari Bandar Kuta.
"Apakah termasuk saweran raja kepada bani "boh reutoh" yang hidup dalam hegomoni dinda, kanda, abangda, Kanada, Nevada, Florida, dan Beulanda, Suman?" tanya Abu Li.
"Barangkali, Abu. Dan itu akan menjadi budaya baru dalam komunikasi sosial anak muda kita yang memiliki gelar akademis, juga tokoh-tokoh muda intelektual seperti nyak Dam. Maka, semakin dia intelektual, semakin pula dia meu-Beulanda," timpa Apa Suman. Aku hanya berdiam diri mendengar percakapan Apa Suman dan Abu Li, sedang di depanku Lem Dawod dan bang Seuhak tertawa lepas dengan pernyataan kedua peutuha kampung kami tersebut.
"Seingat aku, Suman. Bahasa dinda-kanda itu pertama sekali ditautkan Soekarno kepada Dauh Beureueh ketika dia berkunjung ke Aceh dulu," kata Abu Li.
"Bisa jadi, Abu. Dan rengekan Soekarno kepada Daud Beureueh sukses membawa generasi kita dalam keadaan yang seperti sekarang ini," sahut Apa Suman. Aku hanya dapat berdiam diri, menanggung dengan rela setiap cemoohan dan sindiran mereka terhadapku.
"Lucu saja ketika kita melihat sebagian anak-anak kita, Suman. Seperti Anjing yang membawa lari kresek berisi tinja, lalu bergong-gong pula kepada si empunya tinja tersebut," tambah Abu Li.
"Maksudmu setelah dikasih makan, nyinyir dan menyerang orang yang memberi dia makan?" tanya Apa Suman.
"Nah. Itulah, Suman. Dikiranya dana hibah itu boinah dari bapaknya. Sekenanya meraka berfoya-foya dengan itu. Padahal, masih banyak sisi kehidupan yang belum sekalipun disentuh oleh paduka raja," hela Abu Li.
"Negeri kita memang negeri seremoni, Abu. Tugas raja adalah sekadar menghadiri acara "potong pita" dan melempar-lempar tulang kekawanan bani "boh reutoh", selebihnya menebar senyum di surat kabar dan simpang-simpang jalan, lalu menyaksikan rakyatnya yang pesakitan dengan mata hatinya yang benak," sambung Apa Suman lagi.
"Para petinggi kita hanya bisa beretorika saja, tak becus dalam mengurus negeri," sambungnya.
Barulah beberapa menit aku bergabung dengan para peutuha itu, telingaku serasa bengkak: membludak serupa ditikam pisau dapur yang sudah karatan. Amatlah sial nasibku kali ini, sebagai seorang ketua di serikat alumni Institut Peradaban Gunong Goh, jiwa kemerdekaanku runyam diterpa realita yang sedang mereka bicarakan. Barangkali aku juga dicap sebagai Anjing penjilat yang hina dina seperti bani "boh reutoh" yang kini sedang hangat-hangatnya berada ditampuk perbincangan setiap rakyat negeri Pasang Geurahang ini. Padahal, kami dari IPGG tidak mendapatkan saweran dari raja. Bahkan serikat kami tak terdaftar dalam catatan para brahma istana.
Namun, itu adalah konsekuwensi hidup yang amat patut kami tanggung. Rakyat tak melihat isinya, tapi mereka melihat bungkusnya. Jamaklah semua pemuda negeri kami hari ini dicap sebagai generasi penjilat, atau--pula bani "boh reutoh" yang tak bermartabat dan tak punya malu, serupa Anjing kurapan yang lapar, berlalu lalang dalam kawanan Angsa yang cantik, putih bersih dan menawan. Lalu si Anjing tetap berkata kepada Angsa, "aku tetap tampan dan arif lagi bijaksana."
Sungguh begitu percaya diri Anjing kurapan itu. Setelah perutnya buncit, dan sekujur tubuhnya berkurap, dia masih mengklaim dirinya sebagai spesies yang tampan, arif dan bijaksana. Adalah tabiatnya melata memiliki sikap sombong yang amat besar, sebab ia tak berakal, hanya berotak saja. Nah, aku sebagai manusia, tentu janganlah lebih rendah dari Anjing, karena aku dikasih akal oleh Tuhan untuk bisa berpikir, melakukan yang baik, pula menjauhkan perkara yang buruk bagiku serta bagi semua makhluk lain.
"Bagaimana, nyak Dam. Apakah kau mendapatkan dana hibah dari paduka Raja?" tetiba bang Seuhak bertanya kepadaku.
"Sejak kapan raja menghibahkan hartanya kepada rakyat? Paduka Raja kita bukan Umar Bin Khatab, bang," timpaku berbalik bertanya kepada bang Seuhak.
"Kamu jarang update, nyak Dam. Atau memang berpura-pura tak tau?" tepis bang Seuhak.
"Benar. Aku tidak paham dengan dana hibah itu, bang," jawabku.
"Baik. Kita anggap saja kau tak paham dengan itu. Supaya tidak timbul "dawa bunta" di antara kita. Sebab, anak muda sekarang rentan yang banyak memiliki sejuta retorika, tapi tak punya estitika, planing masa depan, serta etika. Dari itulah aku kadang malas berdiskusi atau bercakap-cakap dengan kaum muda seusiamu, nyak Dam," tambah Lem Dawod yang sedari tadi diam menyimak percakapan kami.
"Jadilah manusia yang bermartabat dan beradab sedari kamu masih muda. Pupuklah etika dan idealismemu, jangan menjadi generasi "boh reutoh" yang tak berguna dan tak punya rasa malu," sambung Apa Suman. Aku hanya bisa berdiam diri, walau pada kenyataannya aku tidak pernah bergabung dan terlibat dalam serikat apa pun, selain serikat Universitas di Institut Peradaban Gunong Goh. Namun, secara nurani dan logika, amatlah malunya aku sebagai anak muda ketika melihat tokoh-tokoh muda perkaa di negeri syariat ini melacurkan diri di hadapan uang receh.
Adalah mustahil mengkritik atau mengutuk raja dengan liur sisa gunyahan sirih dan mulut bau sisa seduhan kopi tubruk yang bukan dari biji arabica. "Tamsilnya amat tak mungkin seekor Cacing mengatur seekor Naga", atau pula seorang anak menegur bapaknya. Dikata anak itu durhaka! Kias-kias itu masih hidup dan tumbuh dalam penuturan serta komunikasi kami di desa. Orang-orang tua di kampung kami memang selalu berbicara dengan gaya komunikasi sedemikian rupa. Penuh kias, tamsilan, atau juga disebut perumpamaan.
Walaupun kami asing dan hidup jauh dari kota, namun banyak diantara kami yang paham dan peka terhadap roda kehidupan kaum istana. Hampir saban hari kecuali hari minggu, surat kabar masuk ke desa-desa, termasuk kampung kami. Surat kabar adalah wujud kegembiraan yang merupakan jendela kecerdasaan, di samping manjadi satu-satunya jendela informasi bagi segenap manusia. Bahkan surat kabar merupakan nadi utama untuk kami di kampung dalam menggali informasi seputar kehidupan para raja, seniman, atlit, artis, bahkan tokoh-tokoh publik lainnya, termasuk bani "boh reutoh" yang suka menghamba jiwa pada raja untuk mendapatkan saweran tahunan, atau lebih islamnya hibah musiman sebagai hak ulayat atas penyembahan mereka kepada paduka raja. Imbalan dari penyembahan, juga sujud sembah itu adalah "bungkusan harta Karun, yang bukan miliknya Karun, tapi milik segenap bangsa, hakikatnya milik rakyat jelata."
Berkat surat kabar itulah kami melihat tindak-tanduk paduka raja dan jajaran istana yang amatlah lena dan sentoloyo, juga sarat kepentingan. Bahkan tentang isu yang sedang merebak di Negeri Pasang Geurahang ini.
Di sunyi asing inilah, kadang aku suka berkumpul dengan para peutuha di kampung kami, hanya sekadar bercakap-cakap. Seputar apa saja, tak lepas dari soalan raja yang semua keberlangsungan hidup jelata berada di tangannya. Semua peraturan, kebijakan, dan peruntukan, sahnya tetap di tangan dan mulut seorang raja. Jadi, bukan mustahil bila keberpihakan adalah wujud dari kekuasaan? Semua yang dilakukan oleh seorang raja adalah kewajaran bagi bani-bani penyembahnya, termasuk bani boh reutoh yang manufik, fasik, dan tak bermartabat. Bani "boh reutoh" ini adalah spesies menengah ke atas, di antaranya akan menjadi calon pemimpin, wakil Parlemen, Ningrat, Brahma, Haria, Wedana, Demang, atau yang paling rendah menjadi Lamiet Istana yang selalu mengabdi sebagai sapu handuk telapak sepatu raja di masa hadapan.
Setiba di warung kopi kampung, aku langsung bersalaman dengan para peutuha yang sedang menyeruput kopi di sudut warung, seraya berbincang-bincang seputar kondisi kini negeri kami yang sedang dilanda pandemi, bencana dan cobaan. Bahkan, hal yang paling dasar sebagai penyedap kopi orang kampung adalah menyinggung soalan politik, baik tingkat sagi sampai ke tingkat keresidenan.
Di kehidupan berbangsa dan bernegara, politik merupakan malaikat bagi semua kebutuhan hidup manusia, dan Tuhannya adalah politisi. Maka, apapun yang sedang berlaku atau sedang mendera suatu daerah tak lepas dari polemik dan kebijakan politik. Misalnya, "sablon eumpang breuh", refocuosing anggaran, saweran dana hibah, kisruh Pokir, atau sekelas gertak sambal seperti "hak angket, dan interpelasi" kaum parlemen kepada paduka raja di bulan yang lalu-lalu.
"Kenanglah semua peristiwa yang terjadi kemarin hari, tadi petang dan malam ini. Semua itu akan menjadi sejarah," kata Apa Suman. Aku baru saja membantal di kursi kayu, duduk melingkari meja kopi bersama para peutuha itu. Dan, langsung disambut dengan pernyataan Apa Suman yang barangkali dijadikan sebagai wejangan penyambutan untukku yang baru pulang dari Bandar Kuta.
"Apakah termasuk saweran raja kepada bani "boh reutoh" yang hidup dalam hegomoni dinda, kanda, abangda, Kanada, Nevada, Florida, dan Beulanda, Suman?" tanya Abu Li.
"Barangkali, Abu. Dan itu akan menjadi budaya baru dalam komunikasi sosial anak muda kita yang memiliki gelar akademis, juga tokoh-tokoh muda intelektual seperti nyak Dam. Maka, semakin dia intelektual, semakin pula dia meu-Beulanda," timpa Apa Suman. Aku hanya berdiam diri mendengar percakapan Apa Suman dan Abu Li, sedang di depanku Lem Dawod dan bang Seuhak tertawa lepas dengan pernyataan kedua peutuha kampung kami tersebut.
"Seingat aku, Suman. Bahasa dinda-kanda itu pertama sekali ditautkan Soekarno kepada Dauh Beureueh ketika dia berkunjung ke Aceh dulu," kata Abu Li.
"Bisa jadi, Abu. Dan rengekan Soekarno kepada Daud Beureueh sukses membawa generasi kita dalam keadaan yang seperti sekarang ini," sahut Apa Suman. Aku hanya dapat berdiam diri, menanggung dengan rela setiap cemoohan dan sindiran mereka terhadapku.
"Lucu saja ketika kita melihat sebagian anak-anak kita, Suman. Seperti Anjing yang membawa lari kresek berisi tinja, lalu bergong-gong pula kepada si empunya tinja tersebut," tambah Abu Li.
"Maksudmu setelah dikasih makan, nyinyir dan menyerang orang yang memberi dia makan?" tanya Apa Suman.
"Nah. Itulah, Suman. Dikiranya dana hibah itu boinah dari bapaknya. Sekenanya meraka berfoya-foya dengan itu. Padahal, masih banyak sisi kehidupan yang belum sekalipun disentuh oleh paduka raja," hela Abu Li.
"Negeri kita memang negeri seremoni, Abu. Tugas raja adalah sekadar menghadiri acara "potong pita" dan melempar-lempar tulang kekawanan bani "boh reutoh", selebihnya menebar senyum di surat kabar dan simpang-simpang jalan, lalu menyaksikan rakyatnya yang pesakitan dengan mata hatinya yang benak," sambung Apa Suman lagi.
"Para petinggi kita hanya bisa beretorika saja, tak becus dalam mengurus negeri," sambungnya.
Barulah beberapa menit aku bergabung dengan para peutuha itu, telingaku serasa bengkak: membludak serupa ditikam pisau dapur yang sudah karatan. Amatlah sial nasibku kali ini, sebagai seorang ketua di serikat alumni Institut Peradaban Gunong Goh, jiwa kemerdekaanku runyam diterpa realita yang sedang mereka bicarakan. Barangkali aku juga dicap sebagai Anjing penjilat yang hina dina seperti bani "boh reutoh" yang kini sedang hangat-hangatnya berada ditampuk perbincangan setiap rakyat negeri Pasang Geurahang ini. Padahal, kami dari IPGG tidak mendapatkan saweran dari raja. Bahkan serikat kami tak terdaftar dalam catatan para brahma istana.
Namun, itu adalah konsekuwensi hidup yang amat patut kami tanggung. Rakyat tak melihat isinya, tapi mereka melihat bungkusnya. Jamaklah semua pemuda negeri kami hari ini dicap sebagai generasi penjilat, atau--pula bani "boh reutoh" yang tak bermartabat dan tak punya malu, serupa Anjing kurapan yang lapar, berlalu lalang dalam kawanan Angsa yang cantik, putih bersih dan menawan. Lalu si Anjing tetap berkata kepada Angsa, "aku tetap tampan dan arif lagi bijaksana."
Sungguh begitu percaya diri Anjing kurapan itu. Setelah perutnya buncit, dan sekujur tubuhnya berkurap, dia masih mengklaim dirinya sebagai spesies yang tampan, arif dan bijaksana. Adalah tabiatnya melata memiliki sikap sombong yang amat besar, sebab ia tak berakal, hanya berotak saja. Nah, aku sebagai manusia, tentu janganlah lebih rendah dari Anjing, karena aku dikasih akal oleh Tuhan untuk bisa berpikir, melakukan yang baik, pula menjauhkan perkara yang buruk bagiku serta bagi semua makhluk lain.
"Bagaimana, nyak Dam. Apakah kau mendapatkan dana hibah dari paduka Raja?" tetiba bang Seuhak bertanya kepadaku.
"Sejak kapan raja menghibahkan hartanya kepada rakyat? Paduka Raja kita bukan Umar Bin Khatab, bang," timpaku berbalik bertanya kepada bang Seuhak.
"Kamu jarang update, nyak Dam. Atau memang berpura-pura tak tau?" tepis bang Seuhak.
"Benar. Aku tidak paham dengan dana hibah itu, bang," jawabku.
"Baik. Kita anggap saja kau tak paham dengan itu. Supaya tidak timbul "dawa bunta" di antara kita. Sebab, anak muda sekarang rentan yang banyak memiliki sejuta retorika, tapi tak punya estitika, planing masa depan, serta etika. Dari itulah aku kadang malas berdiskusi atau bercakap-cakap dengan kaum muda seusiamu, nyak Dam," tambah Lem Dawod yang sedari tadi diam menyimak percakapan kami.
"Jadilah manusia yang bermartabat dan beradab sedari kamu masih muda. Pupuklah etika dan idealismemu, jangan menjadi generasi "boh reutoh" yang tak berguna dan tak punya rasa malu," sambung Apa Suman. Aku hanya bisa berdiam diri, walau pada kenyataannya aku tidak pernah bergabung dan terlibat dalam serikat apa pun, selain serikat Universitas di Institut Peradaban Gunong Goh. Namun, secara nurani dan logika, amatlah malunya aku sebagai anak muda ketika melihat tokoh-tokoh muda perkaa di negeri syariat ini melacurkan diri di hadapan uang receh.
Hal itulah yang menjadi pukulan telak bagiku yang sedari dulu mengklaim diri sebagai pribadi yang idealis, konsisten, berprinsip teguh pada petuah-petuah luluhur dan selalu menggelorakan perlawanan kepada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pimpinan di kerajaan negeri kami. Namun, kami sebagai pemuda sering "cakap tak serupa bikin", juga mudah sekali tunduk di depan sehelai tiket pesawat untuk holiday ke luar daerah. Bahkan teramat mudah pula dibujuk dengan angan-angan dan recehan rupiah. Sebagai agen perubahan, kami adalah energi baru untuk kemaslahatan bangsa, tetapi bari ini, kami ikut andil berfoya-foya dengan uang rakyat. "Kami sudah berubah, dari si merdeka menjadi drakula yang meminum darah saudara kami sendiri." Gumamku.
Malam masih panjang, angin laut merambat ke seluruh penjuru Gampong Lumpoe. Percakapan kami di malam itu barulah awal dari pembukaan, biarpun Apa Suman dan Abu Li sudah berdiskusi panjang lebar. Pun, aku termangu dalam lamun yang bimbang. Pikiranku mulai mercerca tentang ihwal yang sedang mereka bincangkan. Patutlah selama ini hampir di seluruh penjuru negeri orang-orang membahas perkara Hibah. Aku abai, kiranya kusangka hibah yang dimaksud oleh orang-orang selama ini adalah ihwal personaliti masyarakat menyangkut dengan harta benda, tanah ladang, juga benda pusaka lainnya yang hendak dihibahkan kepada sanak famili!
"Baik, Apa. Tapi aku sama sekali tak paham dengan bantuan dana hibah tersebut," tepisku.
"Kau kan, orang kota, nyak Dam. Masa sedikitpun tak paham dengan isu yang sedang merebak di negeri kita. Kau tau? Akhir-akhir ini seratusan ormas/OKP mendapatkan bantuan dana dari pemerintah, dan tentunya ormas/OKP tersebut dijabatani oleh kaula muda seusiamu," kata Apa Suman lagi. Aku tetap saja berdiam diri tanpa menjawab sepatahpun pernyataan Apa Suman. Gelegatnya amatlah lain kepadaku di malam itu. Atau jangan-jangan mereka menduga aku juga menjadi bagian dari penikmat dana hibah tersebut? Entahlah.
Apa pun yang mereka sangkakan, itu merupakan hak dan kewajiban mereka dalam berpendapat secara bebas dengan sudut pandang masing-masing. Akan tetapi, selama ini memang kebanyakan warga Gampong Lumpoe beranggapan bahwa aku adalah salah satu pemuda yang aktif di berbagai serikat atau organisasi kepemudaan dengan ragam latar belakang. Baik serikat politik, lingkungan hidup, serta organisasi-organisasi yang bergerak di sisi sosial. Bahkan aku juga dianggap terlibat dalam ormas/OKP yang suka melacurkan diri pada penguasa yang, dalam artian lain adalah menjilat dengan modal receh berupa proposal seminar dan diskusi publik. Namun, itu bukanlah masalah bagiku, sebab semua manusia punya hak kemerdekaan terhadap pola pikirnya masing-masing.
Bersambung...
Penulis: Adam Zainal, lahir di Bireuen 1991 yang menyisakan waktu luang untuk menulis disela-sela kesibukan sebagai buruh harian lepas. Adapun buku yang sudah diterbitkan antara lain Novel "Gadis Pelupa", dan menulis ragam rupa.
Posting Komentar