Sekali waktu di beranda rumahnya Mark Zuckerberg (si pemilik Facebook) yang berkeyakinan Yahudisme tersebut, aku sempat memposting sebuah gambar kitab Talmud. Talmud adalah kitabnya orang Yahudi, yang bermukim di mana saja, tak mesti di Tel Aviv, dan Yerussalem negara Israel. Postingan itu mendapat respont dari beberapa anak muda yang sedang menggalakkan teori pergerakan; gerakan belajar dan membaca. Seorang diantara beberapa pemuda tersebut adalah Manzahari Buloh, pemuda yang aktif dibeberapa organisasi kepemudaan, pun aktor di atas panggung orasi di jalanan-jalanan Kota kami; Nanggroe Berdualat Aceh Darussalam yang bergelar Sare'ap itu. eh, salah. Syariat maksudnya, dan Serambi Mekkah tersebut.
Beberapa hari belakangan ini, Manzahari mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp Massenger kepadaku. Ia menanyakan perihal "Kitab Talmud" yang pernah kuposting di laman Facebook beberapa minggu yang lalu. Dari pesan singkatnya itu, dapat pula aku duga bahwa anak ini serius; begitu serius ingin mengguluti isi dari Talmud sebagai bahan pengatahuan atau holiday imajiner ke Negara para zionis tersebut. Lalu, secara tidak langsung ia mengundangku ke kota kelahirannya, Aceh Utara. Tepatnya di Kota Petro Dolar, Teluk Samawi atau Lhokseumawe saat ini.
"Nanti, jika aku bertandang ke Lhok, aku kabari," kataku kepada anak muda itu. Lhok adalah sebutan kami Bireuen kepada kota Lhokseumawe. Sebutan singkat untuk Lhokseumawe sudah menjadi nama turun-temurun yang diwarisi oleh para pendahulu kami dari beratus-ratus tahun yang lalu. Lhok sendiri bermakna dalam; sedalam atau sejauh sejarah peradabannya di bawah Kerajaan Berdualat Samudra Pasee dahulu.
Di waktu yang lain, setelah percakapan itu aku pergi ke Lhokseumawe tanpa agenda yang mustahak. Tanpa tujuan yang pasti, pun tanpa keinginan yang mendadak. Dalam laju di atas rata-rata aku mengendarai sepeda motor dari Peusangan, Bireuen di bawah ranum cerah matahari yang terik membakar bumi, pepohonan, rerumputan, dan seluruh isi jagad raya. Tak terkecuali jalan raya Nasional dan aspal lapuknya yang dibangun era kemerdekaan, pun diisi satu dua kubangan kecil sebagai rute yang penuh tantangan, bahkan menjadi irama tersendiri sepanjang perjalanan.
Peusangan sendiri adalah sebuah Keurajeun Kuno di tanah kelahiranku. Kuta Peusangan jie the meugah dan meucuhu ban sigom donya pada masanya. Beranjak dari Peusangan di antara siang bertemu sore itu adalah kebiasaanku. Melewati beberapa kota kecamatan antara Bireuen dan Aceh Utara, lalu aku memilih rute sepi dan sedikit dekat. Aku memilih rute jalan Elak (jalan pintas yang bermuara ke Buket Rata, Jeuleukat dan Kandang). Ya, orang-orang menyebutnya jalan Elak. Hingga tiba di simpang Buloh, kemudian menghubungi Manzahari.
"Pat gata?" tanyaku.
"di DR. Kupi, bang," jawabnya di seberang telepon.
"Droeneuh pat, bang?" ia bertanya balik kepadaku.
"Lon di simpang Buloh. Preh sinan ajue," kataku kemudian.
"Get bang," lalu aku memutuskan sambungan telepon dan menuju ke tempat tujuan yang hanya memakan waktu beberapa menit lagi.
Matahari masih terik, debu-jerebu membalut sepanjang jalan aspal karya tangan para pengusaha Peulaken Nanggroe kami. Di jalanan kecil nan sempit itu, aku tak berani memacu sepeda motor pada laju yang tinggi, mengingat jalan itu penuh dengan liuk, kubangan, juga penuh kelokan. Di kiri dan kanan jalan hanya dipenuhi semak belukar, pepohonan rindang, ilalang, juga rerumputan. Pun, satu dua rumah warga yang berdomisili di daerah basis GAM pada masa Aceh konflik dulu.
Tiba di Dr. Kupi dalam remang petang, langit yang bersih disisipi arakan awan tipis aku kembali menghubungi Manzahari, si pemuda yang sedari tadi menungguku. Lalu aku menerobos satu dua meja, mengguntai di mana meja mereka berleha, menyeruput kopi petang dan ditemani diskusi-diskusi kecil sebagai penganan haba. Usai berjabat tangan, aku menarik sebuah kursi kosong di meja sebelah, lalu kududukinya dengan kditmad dan tertip.
"Lon pike na buku Talmud bak gata, bang?" kata Manzahari seketika aku baru menyepatkan pantatku di kursi atom tersebut.
"Na, cuma basa Ibrani. Meu jie teurjeumah keu basa Inggreh golom," jawabku.
"Meunyoe basa Inggreh bek bang, hana lon teu'oh baca," timpalnya.
"Lon bek-a'n basa Inggreh, meubasa Indonesia hana ku teu'oh," pungkasku. Lalu mereka tertawa.
Selepas magrib, beberapa teman Manzahari kembali meramaikan meja kopi kami. Kali ini diskusi diawali dengan rentetan sejarah panjang GAM setelah dan sebelum damai ini ada. Aku sedikit tertarik, pun tak tahu banyak dengan sejarah gerilya, taktik perang dan stragesi Gerakan Perjuangan yang dipimpin Tgk. Hasan Tiro tersebut. Namun, kawan-kawan muda itu begitu antusias dalam mendifinisikan tentang Sang Proklamator Aceh dan sayap Militernya tersebut. Mereka tahu banyak tentang riwayat perjalanan gerakan perlawanan itu.
Dari cerita GAM merambah ke Poin-poin MOU Helsinki dan turunan UUPA yang sampai kini belum menuai titik temu. Di laman MOU dan UUPA kami membutuhkan waktu yang banyak untuk menggulutinya, mencabik-cabik isi dan tafsirnya dengan kacamata Konstitusi dan kenegaraan, bahkan meramu makna dengan berbagai dalil dan sudut pandang. Lalu, dari MOU kami kembali ke pusaran Talmud, Weda dan Lembu yang akhir-akhir ini menjadi isu hot dan seksi, pun seperti disengajakan untuk dilaparkan tanpa rawatan dan pakan yang memadai.
"Bagaimana orang Gujararu menafsirkan bahasa Lembu?" tanyaku kepada mereka. Seantero meja larut dalam tawa, pertanyaanku kali ini sedikit aneh dan menohok.
Lalu kami kembali ke perjanjian Keuramat di Helsinki yang tenar disebut dengan MOU. Kami masih bersahut dengan diskusi, sepertinya pembasan tak akan tuntas diurai dalam waktu semalam, seminggu, sebulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Aceh ini adalah Nanggroe dengan sejuta sejarah, sampai kapanku tak akan selesai kita tuliskan.
"Dulu di Banda ada sekolah tentang itu. Mempelajari bahasa Lembu," tetiba bang Zulfadli Kawom berujar. Lalu dia menjelaskan bagaimana ahli Hewani atau dokter hewan memahami dan beradabtasi dengan binatang, salah satunya dengan Lembu atau Bani Sapi-ens tersebut.
Pembahasan tentang Lembu sedang menjadi Tranding Topik di Nanggroe yang berjulukan Tanah Rincong ini. Akhir-akhir ini, semua kalangan menghabiskan waktu dalam perihal Lembu yang notabene adalah Bani Sapi-ens. Baik para pejabat kelas kakap, kelas menegah, kelas bawah sampai dengan masyarakat bawah yang awam seperti kami. Namun ada yang lebih menarik ketika para Akademisi, Praktisi, Aktivis, pengamat dan pakar ikut andil dalam menyuarakan Hak Asasi Kehewanan (HAK) yang dimiliki oleh Bani Sapi-ens tersebut. Terlepas dari Pro-kontra antara Bani People In dan Bani People Out. Setidaknya, sebagai jelata malang nan bangai kita sudah disodorkan tontonan yang sama sekali dapat disinyalir dibekali dengan tujuan, rasa sakit hati, dendam, dan sedikit politis itu. Satu pihak memberi pembenaran untuk menutupi kebrobrokan pemerintah, di pihak yang lain membuka tabir yang tak berperi-kehewanan dan menyerang pemerintah dengan kata-kata nyeleneh, kritikan, dan meunyek-nyek.
Ketika Aceh disibukkan dengan isu Bani Sapi-ens di Sere, Aceh Besar, yang berada di bawah binaan Keurani terkait. Di surat haba dan media massa kita melihat beragam berita yang diwartakan terkait Sapi-sapi tersebut, yang kondisinya ditemukan dalam keadaan yang non sejahtera dan kemakmuran. Bani Sapi-ens itu terlihat kurus, tinggal tulang belulang dan kulit. Ihwalnya sih, sebab tak dirawat dan dikasih makan dengan baik oleh para pengurus yang secara tidak langsung bisa dikatakan pula sebagai teman-teman dari Sapi-sapi itu. Karena mereka sudah berteman dari tahun 2016 sampai dengan sekarang menurut kabar orang-orang sekitar Keurajeun Sapi-ens itu.
Nah. Ada yang menarik dari bala yang sedang melanda di Nanggroe Sapi itu, yakni; perdebadat kusir atau pertikaian mulut yang terjadi sedari mula mencuatnya isu tersebut sampai dengan hari ini, walau sudah sedikit reda dan hilang diperedaran meja kopi dan laman Facebook dengan munculnya isu baru terkait Blok B (lazimnya disebutkan). Perdebatan kusir itu dilakoni oleh para sahaya di istana kerajaan Sapi-ens, yang notabene adalah pemilik gelar dan otak cemerlang. Pun dapat dikatakan pula adalah barisan atau pagar betis sang raja di Istana. Tentu, mereka terdiri dari Penjaga, Ksatria, Haria, Dendayang, Tukang gembala, dan sebagainya yang masuk dalam klan Istana, tak terkecuali para babu dapur dan tukang ron-ron broh leun Meuligoe raja.
Gegara ketimpangan yang melanda Negeri bani Sapi-ens itu, kini lahir perdebatan kusir antara Bani People in dan People out, yang mana kedua bani people kiri dan people kanan atau luar dan dalam tersebut dihuni oleh otak-otak intelektuil, akademisi dan sebagainya yang kini sudah dipecat ataupun yang baru mendapatkan mandat keuramat yang bernama SK (surat keputusan) dari raja.
Sebagai Jeulata malang nan awam, kami di Gunong Goh dan Geureudong sama sekali tak memiliki waham tentang perdebatan politik para dayang-dayang atau pula lamiet-lamiet istana itu. Baik yang sudah menjadi mantan lamiet ataupun yang baru di angkat menjadi lamiet.
Malam itu, pembahasan kami bermuara pada isu Bani Sapi-ens, hingga menepikan tentang Talmud, sejarah pergerakan GAM, Mou Helsinki, bahkan UUPA. Kami larut dalam menonton perseteruan para lamiet istana yang berbani People In dan People Out, hingga waktu sudah selarut itu. Kami sama sekali tak ingin masuk dalam pertikaian para lamiet itu, sebab mereka lahir dari rahim yang sama, cuma sedikit mendapat perbedaan kasih sayang dari sang raja.
Kedua bani tersebut didomisili oleh beragam macam profesi, pun yang lebih menonjol dan terlihat sedikit andil dalam perdebatan kusir tersebut adalah mereka yang sudah mengklaim dirinya sebagai penulis di bermacam laman, termasuk di beranda Facebook miliknya si Mark. Aku menamakan mereka dengan sebutan "Para penulis Hipokrit."
Penulis Hopokrit adalah mereka yang kecewa setelah namanya dicoret dalan daftar lamiet istana, ataupula SK-nya sebagai babu tak diperpanjangkan lagi dan diganti dengan lamiet yang baru oleh sang raja? Lalu meraka meradang hingga menyerang si tuan yang dulu pernah mereka elu-elukan ketika perutnya keroncongan, pun saat dapunya hana meuasap le. Mereka tetap masih nyeleneh, nyinyir, dan meunyek-nyek dalam mengkritis pemerintah yang berkuasa. Giliran dikasih SK dan dimasukkan menjadi bagian dari babu istana, maka kemudi akan diputar, dan mereka kembali berpihak kepada raja.
Sebenarnya, yang mereka kritisi bukanlah semata-mata demi kemaslahatan rakyat, ataupula rasa peduli mereka untuk Nanggroe ini, tetapi lebih kepada asoe pruet, juga kepentingan, hanya saja mereka melebelkan nama rakyat sebagai jembatan untuk menuju capaiannya.
Seiring berjalannya waktu, selepas sang raja melepaskan kawanan bani Sapi-ens yang sempat disandera oleh lamiet-nya, kini isu tentang kaum peut gaki tersebut hilang bagai ditelan bumi, apalagi munculnya isu baru tentang pengelolaan Blok B. Namun, sandiwara tak akan pernah usai ataupun tamat di Nanggroe ini, bermacam tontonan secara bergilir diputar untuk melenakan rakyat. Bahkan, aku juga melihat pro-kontra tetap utuh seperti semula, tertip dan khidmat, walaupun saat ini isunya beralih ke Blok B.
Perdebatan kusir pada masalah Blok B juga dilakoni oleh kaum yang sama, yakni Bani people in dan Bani people out yang sama-sama pernah menjadi lamiet istana. Kapan perdebatan kusir itu akan berakhir? Barangkali ketika itu sudah menjadi sejarah yang membodohkan dan tak perlu dikenang, ataupula ketika para lamiet tersebut sudah dimerdekakan hingga menuai kenyang? Entahlah, sebagai jeulata kami hanya bisa tertawa dengan sandiwara mereka.
Penulis Adam Zainal alias Kibet BE.
Posting Komentar