Siang selepas Zhuhur, menjelang hari tujuhbelasan aku sengaja menemui para peutuha di Sagi kami sekadar ikut mencicipi kopi, dan mendengar cerita-cerita dari mereka menyangkut dengan persoalan di Nanggroe kami yang sampai kini masih dalam dilema. "Sekiranya itu benar, dan teramat benar, maka semua butir-butir keramat dalam buku damai Aceh sudah selesai diimplementasikan," kata Apa Suman.
Namun, sambungnya. "Sampai dengan kini, kita Aceh masing memeluk angan, berandai-andai dengan mimpi Helsinki. "Tanyoe Aceh ka jiba lè Geunteut," ujarnya.
Dengan seksama aku mengamati setiap gerak bibir Apa Suman, sedang di sebelahku Bang Seuhak dan Abu Li Pirak juga masih alot-alotnya berdialektika tentang MOU Helsinki. Bagi mereka, atau bagiku pribadi janji Finlandia tak ubahnya seperti Ikrar Lamteh. Siang itu, metahari semakin terik, hawa panas terasa sampai ke ubun-ubun. Di warung kopi kampungku, tempat para Nelayan biasanya berkumpul untuk menyeruput segelas kopi, sambil membuka setiap lembaran surat kabar yang tertata di atas meja sebelum mereka berangkat melaut. Para peutuha selalu menorehkan beragam diskusi, pengalaman dan pelajaran yang barangkali tak ditemukan di Universitas, dan bangku-bangku sekolah. Mereka begitu antusias dalam membahas perkara Nanggroe yang belum menemukan titik temunya.
"Suman. Kenapa kau terus menerus menyalahkan janji Helsinki? Bukankah kau juga bahagian dari orang yang menerima damai ini?" tetiba Abu Li Pirak berujar, melayangkan pertanyaan kepada Apa Suman. Suasana mulai bungkam, kini orang-orang di seantero warung kopi mulai berpaling arah ke meja kami. Barangkali mereka kaget mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Abu Li Pirak barusan.
Abu Li Pirak merupakan salah seorang Teuntara Aceh Merdeka (AM) angkatan 76, generasi GAM era 1998 dan 2003 banyak yang tak mengenal dirinya, bahkan suatu ketika kisahnya, "ia hendak diculik dan dituduh sebagai mata-mata (cu'ak) kala sekelompok OTK (orang tak di kenal) mendatangi kampung kami. Orang kampungku biasa menyapanya dengan sebutan Abu Li. Lelaki senja dengan lekuk tubuh sedikit membukuk, juga kulitnya yang mulai keriput tersebut adalah sosok yang blak-blakan. Ia tak gampang berdialektika dengan sembarang orang. Baginya, ucapan adalah pedang, ketika sebuah kata sudah dihunus maka kata-kata tersebut akan beresiko, apalagi menyangkut dengan perkara Nanggroe yang semakin amburadur ini.
"Aku bukan menyalahkan janji Helsinki, Abu. Namun, jika butir-butir damai ini tak selesai diimplementasikan, maka kita akan dianggap sebagai pejuang yang gagal oleh anak cucu kita dikemudian hari," jawab Apa Suman. Aku, bang Seuhak, dan Lem dawod masih terpaku, mengamati keseriusan kedua peutuha kampung kami itu. Pembicaraan keduanya begitu alot, walaupun penuh dengan nada keluh. Keriput dahi Abu Li semakin cetar, suara bassnya menderu buming.
"Apapun alasanmu, Suman. Kita memang sudah menjadi teladan dan contoh yang gagal untuk generasi mendatang," pungkasnya.
"Empatbelas tahun sudah damai ini diseduh, ditorehkan di atas kertas putih dengan tinta ke-emasan. Namun, butir mana saja yang telah mengsejahterakan rakyat Aceh, eks Kombatan, anak yatim, juga inong bale, dan korban konfilk?" sambungnya datar. "Bukankah kita sudah gagal, Suman?" tanyanya lagi.
"Tidak, Abu Li. Perjuangan ini masih panjang. Kita belum gagal dalam perdamaian ini," jawab Apa Suman. Suasana menjadi hening, kedua peutuha itu saling manatap pandang, seperti sedang bergumam dengan logikanya masing-masing. Sedang aku, bang Seuhak, dan Lem Dawod masih seperti biasanya, mengamati setiap ucap kata yang dilontarkan oleh Abu Li dan Apa Suman.
"Cukup, Suman. Kau tak perlu lagi membawa-bawa nama perjuangan, sedang kau sendiri sudah melenceng dari garis suci perjuangan tersebut," tetiba Abu Li melanjutkan perbincangan setelah beberapa saat hening.
"Kita jangan ikut-ikutan seperti orang lain, yang saban waktu memperjual-belikan nama perjuangan suci ini untuk tujuan jabatan dan kekenyangannya semata, juga berfoya ria atas kemewahan dan ghanimah damai dengan sanak keluarganya, orang sekelilingnya, serta kelompoknya. Sedang di sini, Suman. Di Nanggroe teulebeh ini, masih banyak rakyat yang belum sejahtera, bahkan inong bale dan korban konflik masih memeluk dilema, anak yatim masih ditawan dendam, juga jutaan rakyat Aceh yang terkena dampak konflik belum mendapatkan reintegrasi yang memadai," ujarnya.
Namun, sambungnya. "Sampai dengan kini, kita Aceh masing memeluk angan, berandai-andai dengan mimpi Helsinki. "Tanyoe Aceh ka jiba lè Geunteut," ujarnya.
Dengan seksama aku mengamati setiap gerak bibir Apa Suman, sedang di sebelahku Bang Seuhak dan Abu Li Pirak juga masih alot-alotnya berdialektika tentang MOU Helsinki. Bagi mereka, atau bagiku pribadi janji Finlandia tak ubahnya seperti Ikrar Lamteh. Siang itu, metahari semakin terik, hawa panas terasa sampai ke ubun-ubun. Di warung kopi kampungku, tempat para Nelayan biasanya berkumpul untuk menyeruput segelas kopi, sambil membuka setiap lembaran surat kabar yang tertata di atas meja sebelum mereka berangkat melaut. Para peutuha selalu menorehkan beragam diskusi, pengalaman dan pelajaran yang barangkali tak ditemukan di Universitas, dan bangku-bangku sekolah. Mereka begitu antusias dalam membahas perkara Nanggroe yang belum menemukan titik temunya.
"Suman. Kenapa kau terus menerus menyalahkan janji Helsinki? Bukankah kau juga bahagian dari orang yang menerima damai ini?" tetiba Abu Li Pirak berujar, melayangkan pertanyaan kepada Apa Suman. Suasana mulai bungkam, kini orang-orang di seantero warung kopi mulai berpaling arah ke meja kami. Barangkali mereka kaget mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Abu Li Pirak barusan.
Abu Li Pirak merupakan salah seorang Teuntara Aceh Merdeka (AM) angkatan 76, generasi GAM era 1998 dan 2003 banyak yang tak mengenal dirinya, bahkan suatu ketika kisahnya, "ia hendak diculik dan dituduh sebagai mata-mata (cu'ak) kala sekelompok OTK (orang tak di kenal) mendatangi kampung kami. Orang kampungku biasa menyapanya dengan sebutan Abu Li. Lelaki senja dengan lekuk tubuh sedikit membukuk, juga kulitnya yang mulai keriput tersebut adalah sosok yang blak-blakan. Ia tak gampang berdialektika dengan sembarang orang. Baginya, ucapan adalah pedang, ketika sebuah kata sudah dihunus maka kata-kata tersebut akan beresiko, apalagi menyangkut dengan perkara Nanggroe yang semakin amburadur ini.
"Aku bukan menyalahkan janji Helsinki, Abu. Namun, jika butir-butir damai ini tak selesai diimplementasikan, maka kita akan dianggap sebagai pejuang yang gagal oleh anak cucu kita dikemudian hari," jawab Apa Suman. Aku, bang Seuhak, dan Lem dawod masih terpaku, mengamati keseriusan kedua peutuha kampung kami itu. Pembicaraan keduanya begitu alot, walaupun penuh dengan nada keluh. Keriput dahi Abu Li semakin cetar, suara bassnya menderu buming.
"Apapun alasanmu, Suman. Kita memang sudah menjadi teladan dan contoh yang gagal untuk generasi mendatang," pungkasnya.
"Empatbelas tahun sudah damai ini diseduh, ditorehkan di atas kertas putih dengan tinta ke-emasan. Namun, butir mana saja yang telah mengsejahterakan rakyat Aceh, eks Kombatan, anak yatim, juga inong bale, dan korban konfilk?" sambungnya datar. "Bukankah kita sudah gagal, Suman?" tanyanya lagi.
"Tidak, Abu Li. Perjuangan ini masih panjang. Kita belum gagal dalam perdamaian ini," jawab Apa Suman. Suasana menjadi hening, kedua peutuha itu saling manatap pandang, seperti sedang bergumam dengan logikanya masing-masing. Sedang aku, bang Seuhak, dan Lem Dawod masih seperti biasanya, mengamati setiap ucap kata yang dilontarkan oleh Abu Li dan Apa Suman.
"Cukup, Suman. Kau tak perlu lagi membawa-bawa nama perjuangan, sedang kau sendiri sudah melenceng dari garis suci perjuangan tersebut," tetiba Abu Li melanjutkan perbincangan setelah beberapa saat hening.
"Kita jangan ikut-ikutan seperti orang lain, yang saban waktu memperjual-belikan nama perjuangan suci ini untuk tujuan jabatan dan kekenyangannya semata, juga berfoya ria atas kemewahan dan ghanimah damai dengan sanak keluarganya, orang sekelilingnya, serta kelompoknya. Sedang di sini, Suman. Di Nanggroe teulebeh ini, masih banyak rakyat yang belum sejahtera, bahkan inong bale dan korban konflik masih memeluk dilema, anak yatim masih ditawan dendam, juga jutaan rakyat Aceh yang terkena dampak konflik belum mendapatkan reintegrasi yang memadai," ujarnya.
"Kau enak, Suman. Hidup dalam gerembolan ternak bantuan dari pemerintah, tinggal di rumah bantuan pemerintah. Maka wajar jika kau membela dan menutup erat-erat penderitaan rakyat Aceh dengan nama suci perjuangan, supaya kegagalanmu tak tercium dimuka publik," tandas Abu Li menohok. Suasana dialog mulai berkecamuk di siang itu, pun tidak menumakan titik temu. Keduanya masih berdiri kokoh pada ego masing-masing. Keheningan mulai menjadi bara, hawa emosional Abu Li dan Apa Suman terpancar dari sorot mata mereka. Tatapan-tatapan sinis mulai bermunculan dari sudut-sudut warung kopi. Aku, bang Seuhak dan Lem Dawod masih menunduk lesu, layaknya sesi "hening cipta" untuk para pahlawan yang telah gugur di medan pertempuran.
Ranum kusam, juga gelingar dan serak-sorai suara Apa Suman terlihat terbata-bata, ia masih dibangkum dengan setiap ucapan Abu Li. Sedang Abu Li terlihat lega, menghela nafas dan terlihat puas.
Hari menjelang petang, Aku dan Abu Li berpamitan untuk pulang. Sedang Apa Suman, juga bang Seuhak dan Lem Dawod masih duduk bersela menopang dagu dengan kedua tangannya, melanjutkan pembicaraan terkait kondisi Aceh terkini di warung kopi bang Matnu, dimana warung tersebut sebagai sentra informasi di kampung kami.
Bersambung...
Gampong Lumpoe, Mei 2020.
Kinet BE
إرسال تعليق