Suatu petang yang berbeda kurasakan kembali bau-bau nasionalisme itu merebak, dan bendera-bendera sang Saka Merah Putih berkibar di pagar-pagar rumah penduduk kampungku. Ihwalku di petang itu tak lain untuk menyeruput kopi, sebagaimana kebiasaan orang Aceh pada umumnya. Di Kedai kopi berdinding kayu dan bercorak lapuk milik bang Matnu, merupakan tempat dimana para peutuha (petua/tetua) kampung kami berkumpul, di pagi, petang dan malam hari membahas beragam persoalan. Sebelum tiba di sana aku sudah duluan dihubungi oleh Bang Seuhak.
Kudapati Apa Suman sedang menyuruput kopi dengan Lem Dawod, Abu Li, dan bang Seuhak. Mereka adalah orang-orang tesohor di Sagi kami. Mereka sedang menyuruput kopi sore seraya berdiskusi mengenai perjuangan GAM hari ini, selepas Aceh damai pasca penandatangan kesepahaman damai antara GAM-RI di Helsinki, Firlandia. Agustus 2005 silam.
"Suman. Kau tahu makna Martabat?" tetiba Lem Dawod bertanya kepada Apa Suman sebelum mereka beranjak untuk membuat Gapura Merah Putih dari batang Bambu guna menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia ke-63 (yang lazim dikenal dengan 17 Agustus oleh orang Aceh pada umumnya).
“Bagiku martabat adalah prinsip, kehormatan yang wajib dijaga hingga mati. Lebih baik mati dikala perang daripada sengsara di kala damai."
Aku mengamati dengan seksama pembicaraan kedua peutuha itu. Pun aku menyukai pembahasan menyangkut dengan kisah historial GAM dan rakyat Aceh dalam mempertahankan martabat dan tanah airnya. Pasca perdamaian GAM dan RI, kata Apa Suman. “Kita Aceh hidup seperti di dalam mimpi dan angan-angan yang besar. Bermakna, kita hidup dalam aspek penuh kepura-puraan dan tipudaya muslihat. Buktinya, sampai dengan hari ini (belasan tahun damai Aceh) masih banyak butir-butir MOU yang belum di-Implementasikan, pun jauh dari kata terealisasi," serunya penuh khidmat.
“Mengingat masa dan waktu yang lama ini, Pemerintah Aceh belum mampu membawa perubahan baru untuk Aceh, baik dalam sektor pembangunan manusia, ekonomi, Kesejahteraan, Insfrastuktur, dan sebagainya. Kita terlalu nyenyak tidur, juga larut dalam mimpi berkepanjangan,” dengusnya lagi. Semua percakapan mereka seakan terekam di benakku, bahkan menurutku yang dikatakan oleh para peutuha itu memang benar adanya.
"Selama damai ini datang, telah terbukanya tabir kelam untuk anak kita di hari ini? Mereka tidak lagi hidup dalam tekanan moral, perang dan kejamnya kebijakan. Bahkan tak pernah menyaksikan kedikdayaan para serdadu, juga pembantaian, serta penyiksaan yang tak manusiawi," tandas Lem Dawod.
"Benar. Tepat sekali, Dawod. Kau tahu? Perdamaian adalah akhir dari perang dan penjajahan. Dan, hari ini kita masih saja dijajah dengan cara-cara yang baru, bahkan orang-orang kita Aceh juga ikut andil dalam penjajahan tersebut? Jika berdamai hanya untuk mengakhiri perang dan menerima kezilaman serta tipudaya yang dibalut dengan sorban ini, lebih baik kita mati saja sebelum damai ini ada," pungkas Apa Suman lagi.
"Sebagai seorang Teuntra Nanggroe aku malu dengan perdamaian ini, bahkan malu dengan anak dan cucuku, Dawod. Apakah Hasan Tiro pernah menyuruh kita pulang atau berdamai dengan musuh?” tanya Apa Suman kemudian.
"Tidak Suman. Hasan Tiro sudah berjuang dan mengajak Bangsa ini menuju pada jalan perjuangan yang bermartabat. Namun, selepas ia berpulang kepangkuan Allah SWT, idealisme GAM dan bangsa Aceh sedikit demi sedikit mulai terkikis. Barangkali sebahagian kita terlena dengan bantuan dan segopok rupiah dari Jakarta, lalu kita terlena dan lalai, hingga janji di Helsinki tersebut tak kunjung di-implementasi dan di-realisasikan,” sergah Lem Dawod.
"Barang Tentu, Dawod. Tapi sekarang GAM sudah terkotak-kotak, berkolompok-kelompok. Ini akibat dari ego-sektoral dari tubuh GAM itu sendiri. Bahkan kau, adalah salah satu Teuntra Nanggroe yang mendapat syufa'at dari perdamaian ini," tandas Apa Suman.
Sambungnya, "sedang di sana, di seluruh Bumoe Meutuah ini masih banyak Teuntra-Teuntra Nanggroe, yatim Syuhada, Inong Bale, dan korban konflik yang masih berkutat dengan sejarah, bergulat dengan dilema, juga hidup di bawah kedikdayaan orang kita sendiri, yang kini mengisi Parlement Pemerintah Aceh. Mereka korban konflik masih berkutat dengan derita hanya untuk menopang perut bersama keluarganya. Rakyat Aceh masih dalam trauma dan dilema, Dawod,” tutur Apa Suman.
"Tidak, Suman. Aku tak mencari kekayaan atas perjuangan Bangsaku," tepis Lem Dawod.
“Sungguh, Dawod. Aku tak memaksamu untuk mengakui itu, sebab pangkat dan jabatan adalah jalan untuk memupus kesetiaan dan rasa terima kasih seseorang. Namun, diterima atau tidak, orang-orang kita GAM yang berada di Parlement sudah gagal dalam memperjuangkan MOU Helsinki, hanya saja mereka malu untuk mengakuinya. Sebagai pejuang, semestinya para petingi kita harus mengembalikan kita pada rauh semula, Dawod. Juga harus siap menerima resiko, jika kelak kitapun bukan dicap sebagai pahlawan, tapi dicap sebagai pengkhianat oleh generasi yang akan datang,” terang Apa Suman.
“Intinya. GAM tidak salah dalam perdamaian ini, Suman. Sudah kehendak tuhan Aceh ini damai. Kita wajib bersyukur dan harus berpartisipasi dengan perdamaian ini,” timpal Lem Dawod.
"Tapi. Perdamaian ini tak adil menurutku, Dawod. Kita terus ditipu oleh Jakarta. Masih banyak janji-janji di Helsinki yang tidak terealisasi. Bagiku, damai ini adalah percobaan bagi kita GAM,” hela Apa Suman kemudian.
Di petang yang cerah itu, Apa Suman dan Lem Dawod masih bersiteru dalam membahas perkara Nanggroe, sedang Bang Seuhak dan Abu Li sedari tadi berdiam diri, tak sekalipun menyahuti pembahasan kedua peutuha tersebut. Di sebelah Bang Seuhak aku masih fokus meyimak percakapan antara Apa Suman dan Lem Dawod, bahkan semua yang diutarakan oleh mereka terekam di kepalaku. Khotbah berapi-api Lem Dawod takluk dan sejuk di bawah sanggahan Apa Suman, sebab dalam diskusi, lelaki tua itu selalu terlihat tenang dan humanis. Suasana kembali tenang, kini mereka mulai beranjak untuk bergotong-royong, membuat Gapura Merah Putih untuk menyambut hari tujuhbelasan (Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia).
Lalu kami membubarkan diri, dan berkumpul dengan warga yang sedang menghias beranda-beranda kampung dengan pernak-pernik, dan bentengan bendera sang Saka.
Bersambung...
Gampong Lumpoe, Mei 2020
Kinet BE
Kudapati Apa Suman sedang menyuruput kopi dengan Lem Dawod, Abu Li, dan bang Seuhak. Mereka adalah orang-orang tesohor di Sagi kami. Mereka sedang menyuruput kopi sore seraya berdiskusi mengenai perjuangan GAM hari ini, selepas Aceh damai pasca penandatangan kesepahaman damai antara GAM-RI di Helsinki, Firlandia. Agustus 2005 silam.
"Suman. Kau tahu makna Martabat?" tetiba Lem Dawod bertanya kepada Apa Suman sebelum mereka beranjak untuk membuat Gapura Merah Putih dari batang Bambu guna menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia ke-63 (yang lazim dikenal dengan 17 Agustus oleh orang Aceh pada umumnya).
“Bagiku martabat adalah prinsip, kehormatan yang wajib dijaga hingga mati. Lebih baik mati dikala perang daripada sengsara di kala damai."
Aku mengamati dengan seksama pembicaraan kedua peutuha itu. Pun aku menyukai pembahasan menyangkut dengan kisah historial GAM dan rakyat Aceh dalam mempertahankan martabat dan tanah airnya. Pasca perdamaian GAM dan RI, kata Apa Suman. “Kita Aceh hidup seperti di dalam mimpi dan angan-angan yang besar. Bermakna, kita hidup dalam aspek penuh kepura-puraan dan tipudaya muslihat. Buktinya, sampai dengan hari ini (belasan tahun damai Aceh) masih banyak butir-butir MOU yang belum di-Implementasikan, pun jauh dari kata terealisasi," serunya penuh khidmat.
“Mengingat masa dan waktu yang lama ini, Pemerintah Aceh belum mampu membawa perubahan baru untuk Aceh, baik dalam sektor pembangunan manusia, ekonomi, Kesejahteraan, Insfrastuktur, dan sebagainya. Kita terlalu nyenyak tidur, juga larut dalam mimpi berkepanjangan,” dengusnya lagi. Semua percakapan mereka seakan terekam di benakku, bahkan menurutku yang dikatakan oleh para peutuha itu memang benar adanya.
"Selama damai ini datang, telah terbukanya tabir kelam untuk anak kita di hari ini? Mereka tidak lagi hidup dalam tekanan moral, perang dan kejamnya kebijakan. Bahkan tak pernah menyaksikan kedikdayaan para serdadu, juga pembantaian, serta penyiksaan yang tak manusiawi," tandas Lem Dawod.
"Benar. Tepat sekali, Dawod. Kau tahu? Perdamaian adalah akhir dari perang dan penjajahan. Dan, hari ini kita masih saja dijajah dengan cara-cara yang baru, bahkan orang-orang kita Aceh juga ikut andil dalam penjajahan tersebut? Jika berdamai hanya untuk mengakhiri perang dan menerima kezilaman serta tipudaya yang dibalut dengan sorban ini, lebih baik kita mati saja sebelum damai ini ada," pungkas Apa Suman lagi.
"Sebagai seorang Teuntra Nanggroe aku malu dengan perdamaian ini, bahkan malu dengan anak dan cucuku, Dawod. Apakah Hasan Tiro pernah menyuruh kita pulang atau berdamai dengan musuh?” tanya Apa Suman kemudian.
"Tidak Suman. Hasan Tiro sudah berjuang dan mengajak Bangsa ini menuju pada jalan perjuangan yang bermartabat. Namun, selepas ia berpulang kepangkuan Allah SWT, idealisme GAM dan bangsa Aceh sedikit demi sedikit mulai terkikis. Barangkali sebahagian kita terlena dengan bantuan dan segopok rupiah dari Jakarta, lalu kita terlena dan lalai, hingga janji di Helsinki tersebut tak kunjung di-implementasi dan di-realisasikan,” sergah Lem Dawod.
"Barang Tentu, Dawod. Tapi sekarang GAM sudah terkotak-kotak, berkolompok-kelompok. Ini akibat dari ego-sektoral dari tubuh GAM itu sendiri. Bahkan kau, adalah salah satu Teuntra Nanggroe yang mendapat syufa'at dari perdamaian ini," tandas Apa Suman.
Sambungnya, "sedang di sana, di seluruh Bumoe Meutuah ini masih banyak Teuntra-Teuntra Nanggroe, yatim Syuhada, Inong Bale, dan korban konflik yang masih berkutat dengan sejarah, bergulat dengan dilema, juga hidup di bawah kedikdayaan orang kita sendiri, yang kini mengisi Parlement Pemerintah Aceh. Mereka korban konflik masih berkutat dengan derita hanya untuk menopang perut bersama keluarganya. Rakyat Aceh masih dalam trauma dan dilema, Dawod,” tutur Apa Suman.
"Tidak, Suman. Aku tak mencari kekayaan atas perjuangan Bangsaku," tepis Lem Dawod.
“Sungguh, Dawod. Aku tak memaksamu untuk mengakui itu, sebab pangkat dan jabatan adalah jalan untuk memupus kesetiaan dan rasa terima kasih seseorang. Namun, diterima atau tidak, orang-orang kita GAM yang berada di Parlement sudah gagal dalam memperjuangkan MOU Helsinki, hanya saja mereka malu untuk mengakuinya. Sebagai pejuang, semestinya para petingi kita harus mengembalikan kita pada rauh semula, Dawod. Juga harus siap menerima resiko, jika kelak kitapun bukan dicap sebagai pahlawan, tapi dicap sebagai pengkhianat oleh generasi yang akan datang,” terang Apa Suman.
“Intinya. GAM tidak salah dalam perdamaian ini, Suman. Sudah kehendak tuhan Aceh ini damai. Kita wajib bersyukur dan harus berpartisipasi dengan perdamaian ini,” timpal Lem Dawod.
"Tapi. Perdamaian ini tak adil menurutku, Dawod. Kita terus ditipu oleh Jakarta. Masih banyak janji-janji di Helsinki yang tidak terealisasi. Bagiku, damai ini adalah percobaan bagi kita GAM,” hela Apa Suman kemudian.
Di petang yang cerah itu, Apa Suman dan Lem Dawod masih bersiteru dalam membahas perkara Nanggroe, sedang Bang Seuhak dan Abu Li sedari tadi berdiam diri, tak sekalipun menyahuti pembahasan kedua peutuha tersebut. Di sebelah Bang Seuhak aku masih fokus meyimak percakapan antara Apa Suman dan Lem Dawod, bahkan semua yang diutarakan oleh mereka terekam di kepalaku. Khotbah berapi-api Lem Dawod takluk dan sejuk di bawah sanggahan Apa Suman, sebab dalam diskusi, lelaki tua itu selalu terlihat tenang dan humanis. Suasana kembali tenang, kini mereka mulai beranjak untuk bergotong-royong, membuat Gapura Merah Putih untuk menyambut hari tujuhbelasan (Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia).
Lalu kami membubarkan diri, dan berkumpul dengan warga yang sedang menghias beranda-beranda kampung dengan pernak-pernik, dan bentengan bendera sang Saka.
Bersambung...
Gampong Lumpoe, Mei 2020
Kinet BE
إرسال تعليق