Apa Suman merupakan seorang Teuntra Nanggroe angkatan 76, ketika Aceh masih bergejolak dalam konflik senjata. Kini usianya sudah beranjak pada angka 58 tahun. Ia kerap aktif di kampung kami, dan terlihat tenang, juga sikapnya begitu humanis. Dalam memaparkan sesuatu hal ia teramat santai, apalagi ia bak seorang filsuf yang sering menggunakan pribahasa kiasan, atau tamsilan (baca: berkias dalam berbicara) sebagai bentuk pameo perumpaman. Pribahasa tersebut dikatakan sebagai istilah "poh sampeng" (pukul binis) atau menyindir.
Sekarang ini pribahasa Poh Sampeng menjadi Trand di kalangan Peneliti dan para politikus Nanggroe kami dalam beragumentasi di surat kabar (koran/media massa). Poh sampeng merupakan istilah lain daripada menyindir, mengejek, dan sebagainya. Kata-kata poh sampeng tersebut ia simpan setahun yang lalu, kata-kata itu pertama sekali dicetuskan oleh seorang dektektif tanaman muda asal Nanggroe Teulebeh," kata Apa Suman kepadaku.
Dari kata-kata poh sampeng tadi, aku yang menyukai Kiasan Bahasa Aceh memadukan istilah-istilah kiasan kata yang biasanya dilantunkan dalam Hikayat Apa Suman. Ia juga salah seorang Nelayan tradisional yang mahir dalam bidang seni dan Sastra Melayu-Aceh.
Dalam Hikayat Aceh-nya ia pernah melantunkan sebuah hikayat yang berbunyi sebagai berikut:
"Mate kon lakoe, rugoe kon atra
Sapue tan laba, geutanyoe Atjeh
Lheuh ta meu-dame, deungon Jakarta
Tanyoe seungsara, ka tung-tung daleh"
Arti dari sebait narit maja yang dilantunkan dalam Hikayat Apa Suman tersebut mempunyai makna yang luas. Kiasan kata ini masuk dalam kategori umum, tidak ditujukan kepada personal individu atau kelompok tertentu. Pada dasarnya, kata Apa Suman suatu ketika, "dalam peradaban dunia, manusia harus kembali kepada dasar I'tikad dan hakikat sebagaimana yang telah diwasiatkan oleh penduhulu-pendahulunya (Indatu-indatunya).
Batat ngon ceubeh bek that ta peudeuh. Bijak bek ta peuna-Peuna. (Lasak jangan terlampau nampak. Bijak jangan mengada-ngada).
Kala itu, Apa Suman sedang dalam "Tapa Brata" yang panjang. Ia sedang mengambil perintah (Peunutoh) dari sang sesepuhnya, penguasa Gunong Goh. Di akhir Tapa Bratanya, Apa Suman mendapatkan sebuah pesan berupa Petuah-petuah Kuno dari sang sesepuh tersebut.
Nyang meneungui suci goh teunte malem. Kadang ciet nyan Jen di balek Rupa. (Yang berpakaian suci belum tentu alim, bisa jadi itu Jin atau seten yang sedang merupai diri bak seorang Kyai).
Banyak peristiwa-peristiwa kejam yang membentang dalam kehidupan manusia, namun di balik peristiwa kejam tersebut lahir sebuah peristiwa baru yang dianut oleh manusia pada zaman serba modern (melenialis) seperti sekarang ini. Yaitu, peristiwa tawar-menawar dalam hal mempertahankan hidup demi asoe pruet (isi perut) untuk kebutuhan sehari-hari," katanya.
"Kita tidak heran jika beranda dan sudut-sudut Pendopo teramat sering di-isi oleh tamu dari Bani Akademika dan aktivis. Yang Kita heran ketika kedua Bani tersebut masih lantang-lantangnya mengakui diri sebagai kaum Idealis."
Ironisnya, dalam istilah perihabasa kekinian adalah "cari muka" atau menyetor wajah dihadapan orang- orang tertentu (para elit) dengan berbagai gaya dan variasi yang dimiliki oleh setiap manusia pada umumnya. Kemudian, hal seperti itu terkesan rendah bagi kita sebagai makhluk yang berakal. Kita sungkan mengakui diri sebagai manusia yang mempunyai martabat dan marwah sebagai insan yang sempurna. Sehingga masih mencari muka dengan cara-cara rendahan dihadapan manusia lain yang derajatnya di mata tuhan sama seperti kita. Di samping itu, bukan rahasia umum lagi bahwa semua manusia butuh yang namanya "makan", namun dalam konteks mencari makan kita perlu membawa modal moral yang utuh dan beretika, dengan latarbelakang harga diri sebagai manusia yang terpuji, disegani dan dihargai oleh manusia lain, karena makan bukan semata-mata tentang menjilati sepah buangan orang lain. Aku mendengar dengan seksama semua ucapan Apa Suman tersebut.
Malam sudah selarut itu, aku masih melawan rasa ngantuk dan hawa dingin Gampong Lumpoe. Setelah mengantarkan Apa Suman ke rumahnya, aku langsung pamitan, dan menebus arah jalan pulang. Kabut malam mulai menutup badan jalan kampung kami yang lenggang itu. Di sepanjang jalan hanya ada gerombolan ternak warga yang menjaga pintu gerbang masuk ke Sagi kami. Hingga keesokan harinya aku kembali bergabung dengan Apa Suman, Bang Seuhak, Abu Li dan Lem Dawod di petang yang cerah. Para peutuha itu selalu berkumpul di warung kopi bang Matnu. Warung kopi berdinding papan itu selalu dipenuhi oleh warga di Sagi kami, dari beragam kalangan, pemuda, pejabat Desa, kaum intelektual, akademisi, praktisi, aktivis, juga tokoh-tokoh masyarakat, hingga para nelayan.
Aku sedikit terlambat tiba di sana, di meja tempat biasanya mereka berdiskusi, aku sudah melihat para peutuha sedang alot-alotnya berdialektika. Mencurahkan segenap persoalan yang sedang mendera Nanggroe Teulebeh ini.
"Kau tahu, Seuhak. Pada masa ini manusia tak lagi mempunyai sifat malu, urat malunya sudah dicabut oleh Tuhan. Lalu mereka menelanjangkan etika dan marwahnya sendiri hanya untuk sesuap nasi. Harga-dirinya digadaikan untuk sebauh hal yang tak bermutu," sergah Apa Suman kepada kami.
Aku mengamati dengan seksama setiap pemaparan Apa Suman, di sampingku Abu Li Pirak dan Lem Dawod menatap terpaku. Sedang Apa Suman terus menceritakan pengalaman dan kondisi sosial kehidupan kepada kami. Bang Seuhak hanya mampu mengangguk seakan mengiyakan semua argumentasi Apa Suman. Jarum Jam di dinding Warung Kopi Bang Matnu berdiri tegak pada Angka 17;30 WIB. Para peutuha kampungku masih tegang-tegangnya berdiskusi, tentang beragam topik. Mereka adalah pemilik sejuta dalil," gumamku.
Beragam macam pembahasan disajikan di atas meja kopi usang milik bang Matnu. Sejarah konflik masa-lalu, politik, sosial, agama, juga budaya yang barangkali sedikit demi sedikit mulai dikikis zaman, juga apapun mereka perdebatkan. Sedang aku hanyalah anak kamarin sore, yang minim ilmu pengatahuan, juga tak punya narasi apa-apa tentang perang Aceh, apalagi menyangkut dengan perihal agama dan budaya. Aku selalu memilih menjadi pendengar yang budiman di samping mencari pengatahuan dari pengalaman mereka yang sudah apik dan lelah di dekap kehidupan yang fana ini.
Aku menyadari, kapasitasku di lingkaran para peutuha itu hanya sebagai pendengar, ataupun saksi ahli atas setiap perdebatan mereka. Mungkin bisa juga dianggap sebagai corong baru untuk melanjutkan pengalaman dan cerita-cerita orang terdahulu kepada para generasi mendatang. Namun, aku juga sadar. Bahkan teramat sadar bahwa aku belum mampu memikul warisan yang berat ini jikapun bukan berbentuk pukasa fisik seperti Boinah (ladang, tambak, dan sepetak tanah sawah).
Di barat langit Gampong Lumpoe, matahari ranum dipeluk arakan mendung. Sekumpulan burung Bango terbang mebentang di angkasa, menuju ke sarang peradaban. Para peutuha itu masih giat berselancar dalam ombak-ombak perdebatan yang berujung temu. Buih-buih diksi bertebaran dalam pelukan aksara. Aku memetiknya dengan kdimat dan penuh suka cita. Di Lamun Cakrawala mereka masih menyulut dialektika, mencerca beragam haba dalam penuh semangat yang membara, bak api yang sedang membakar kuali di Dapu Sira para petani garam kampung kami.
Bersambung...
Gampong Lumpoe, Mei 2020
Kinet BE

إرسال تعليق