Sekali waktu di tahun yang lalu-lalu, aku tak sengaja menguping percakapakan seorang toke Aneuk Lueng dan beberapa bapak-bapak yang berpaikan necis dan rapi di sebuah warung, sudut kota; kota kami yang patriarti, madani dan Sare'ap itu ditemani deru kendaraan berlalu-lalang di jalan, juga pekikan bising orang-orang yang sedang menyeduh kisah di pelataran meja kopi. Di Nanggroe kami ini, Keude Kupi adalah sarana yang begitu cocok untuk membahas beragam masalah, baik politik, asmara, sosial, agama, bisnis, pekerjaan, pendidikan dan sebagainya. Di lain sisi, Keude Kupi juga menjadi objek yang menjamin untuk menuang beragam fatwa, apalagi kami di Aceh ini adalah pemilik sah sejuta dalil.

Berbica politik, sebahagian masyarakat masih absurd dalam menafsirkannya, sebahagian lagi acuh tak acuh dalam melibatkan diri, di kalangan kaum muda politik adalah "racun dunia, dan surganya para politisi." Namun, ada sebahagian pemuda menyukai kaum politikus yang memiliki regulasa, integritas, dan terobos-terobasan pemikiran yang maju, tidak pragmatis dan tidak melulu tentang tambak jalan, doe lubang jalan, dan aneuk lueng, tapi lebih kepada ide-ide perubahan dalam jangka panjang yang meyakinkan. Tidak dengan para Toke Aneuk Lueng, bagi para toke kelas dewa itu politik adalah investasi, marketing, bisnis, juga kontribusi loby dan negosiasi. Politik adalah jual-beli, permodalan yang harus melipat-gandakan keuntungan.


Ketidak-sengajaan ini menjadi hal yang kusengaja, seraya berpura-pura tuli dan apatis tentang soalan yang sedang mereka bincangkan. Aku menyimak dengan seksama gerak bibir, bahasa tubuh, juga mimik muka mereka dalam membahas PL Aneuk Lueng, Pageu Meulasah, Bale Patah, juga pengadaan, dan sebagainya. Mungkin, bagi kebanyakan politisi politik adalah tempat keuramat dan jaminan kemakmuran untuk tujuh-turunannya, dengan embel-embel yang dibalut slogan Agama, kesejahteraan, kemakmuran, bahkan masa depan kaum muda. Padahal, jika dikaji dan dilihat dengan mawas dan teliti, politik hanya kuda troya bagi politikus untuk menjarah dan berfoya-foya dengan uang rakyat yang sudah ikhlas mempercayakan mereka sebagai sambung tangannya di parlemet.


Di Aceh sendiri, jual-beli Aneuk Lueng antara wakil rakyat dan toke (pengusaha tingkat dewa) sudah menjadi rahasia umum, bahkan sekelas bantuan rumah layak huni dan sebagainya-pun masyarakat penerima bantuan harus mengorek saku, alih-alih sebagai biaya pengurusan (administrasi) untuk orang-orang tertentu yang mencari makan di jalan itu. Jika ihwal itu tidak terpenuhi, maka masyarakat aku ditakutkan dengan beragam macam, misalnya: "meunyoe hana peng, bantuan nyoe ijok keugop" atau "bantuan nyoe han jitron meunyoe hana neujok peng sekian!"


Hal demikian sudah menjadi budaya dalam konteks sosial masyarakat Aceh, lagipula tiada yang dapat memutuskan rantai kerakusan ini. Hadirnya para calo (agen) proposal dan toke Aneuk Leung dalam sektor pembangunan rakyat bukan menjadi rahmat untuk kaum jelata, pun mereka tidak menjadi mitra Profesional pemerintah yang bisa membantu visi-misi para pemangku jawatan Nanggroe kami. Kecurangan dan tipu daya yang awalnya dianggap kecil dan mudah itu menjadi bias dan maha besar, sehingga hari ini Aceh masih menjadi Provinsi termiskin di atas muka bumi ini. Di sisi lain, kepercayaan rakyat kepada pemimpin runtuk dan ambruk bisa dikatakan berawal dari hal tersebut. Dari masalah yang leluasa dilakukan oleh para agen proposal dan bani serupanya membuat dampak buruk bagi banyak bantuan untuk masyarakat yang tak tepat sasaran.


Setelah begitu jauh imajinasiku berselancar, aku kembali pada misi pertama, "menguping" pembicaraan bapak-bapak terhormat dan toke Aneuk Leung yang terlihat begitu apik dan sedang alot-alotnya. Pun tak sengaja aku mendengar mereka berbicara teramat serius dan amat khusyuk seperti para sufi yang sedang bertasbih di tengah malam buta.


"Jangan bahas tentang regulasi. Bahas saja tentang aspirasi". kata bapak berkopiah yang mengenakan Jas dan terlihat begitu rapi di antara para Toke itu.
Aspirasi adalah dana pokok pikiran (Pokir) para dedengkot atau sebahagian wakil rakyat kami di Aceh yang jithe teuhoreumat ngon amanah.


"Kau sanggup bayar berapa?" ujarnya.


Dari belakang yang tak begitu jauh dengan sekelompok bapak-bapak itu aku duduk sendiri, singgah sekejap karena kehujanan. Hawa sejuk petang ini menjebakku dalam perangkap loby dan negosiasi yang bernama "Aspirasi". Tanpa melenggak-lenggok ke kanan dan kiri, aku terus mengamati dengan seksama pembicaraan orang-orang bergaya borjuis yang duduk tepat di depanku, pembicaraan mereka nampak semakin alot. Di atas meja juga terlihat map-map bertumpuk rapi, salah seorang diantaranya terlihat begitu giat mengguluti satu persatu kumpulan HVS itu.


"Apa ada yang kurang, bang?" tanya seseorang diantara mereka.


"Tidak, hanya saja ini belum ada rekomendasi, dari si pulan dan si pulen," jawabnya. Suaranya terdengar di seantero warung kopi. Namun, kondisi warung lagi sepi, sebab hujan masih mengguyur deras kota kami.


"Kapan bisa kalian lunasi, ini?" Tanyanya lagi. "Sebab saya lagi butuh, mahu bayar punya orang," sambungnya.


"Nanti malam kami kabari, bang, dan kami akan melengkapi berkasnya dulu," pungkas orang itu yang diduga sebagai Toke Aneuk Lueng. Aku hanya menatap hening, lamunanku memaksa untuk bersikap apatis dengan kondisi dan situasi yang terjadi di Nanggroe ini. Barangkali, janji hanya tinggal janji, dan sumpah hanya tinggal sumpah. Dalam hati aku bergumam, "rupanya rakyat adalah tumbal mereka dalam mendapatkan jabatan, tujuan, dan kekayaan. Sudahlah, itu bukan urusanku."



Gampông Lumpoe, September 2018.
Penulis Adalah Adam Zainal (Kinet BE).

2 تعليقات

إرسال تعليق